Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Salim, Sang Maestro Pelukis dari Bagansiapiapi

Reupload 22/03/2012

Salim adalah seorang pelukis Indonesia yang telah menetap lama di Prancis. Maestro seangkatan pelukis Affandi ini, walaupun sering disebut dari Medan (kota besar pesisir Sumatera Timur jaman itu), terlahir di Bagan Api-api 3 September 1908 dan meninggal di Prancis 14 Oktober 2008. Beribukan orang Melayu Bagan dan berayah seorang keturunan Persia. Merantau ke Medan di umur 11 tahun dan tak lama menetap disana. Perjalanan hidupnya berpindah-pindah dari Medan ke Belanda yang dibawa oleh sepasang orang tua angkat berkebangsaan Jerman-Belanda, dan pada umur 20 tahun menetap di Prancis.

Même s'il habitait en Occident, il n'avait pas perdu ses racines orientales dans sa peinture, a commenté le conservateur indonésien AD Pirous

Itu kutipan yang ditulis sebuah website dari Canada http://www.cyberpresse.ca yang dimiliki oleh LA Presse (Cyberpresse Inc. Montreal Canada). Kutipan itu menyebutkan bahwa walaupun Ia telah lama hidup di dunia Barat/Eropa, tetapi dia tidak kehilangan akar asalnya dalam melukis. Website itu juga memberitakan bahwa karya-karyanya telah banyak dipamerkan di Amsterdam, Paris, Jenewa dan bahkan di Jakarta.

Association Franco-Indonesienne dalam websitenya menyebutkan :

Nous avons perdu Salim, décédé lundi 13 octobre dans l’après-midi à l’hôpital.
C’était un artiste, un humaniste, un ami, généreux, drôle, d’une vitalité débordante,  et jusqu’au bout curieux des gens et des choses.

Begitu sedihnya berbagai pihak tentang kematian Salim yang dianggap sebagai manusia yang humanis, seorang teman, murah hati, lucu, suatu vitalitas meluap, dan sering membuat orang penasaran.

Salim, sang maestro pelukis Indonesia

Ville en France karya Salim, Sang Maestro dari Bagansiapi-api

Awalnya, setelah tamat sekolah sederajat SMA di Belanda, Ia belajar melukis di Prancis Académie de la Grande Chaumière tahun 1928. Kemudian melanjutkannya pada sebuah akademi melukis yang didirikan oleh Fernand Leger (Académie Fernand Léger).

Académie de la Grande Chaumière adalah sekolah seni yang terletak di Paris pada 14 rue de la Grande Chaumiere. Didirikan pada tahun 1904 oleh pelukis berkebangsaan Swiss bernama Stettler Martha (1870-1945). Sedangkan Fernand Leger adalah Kubisme, pelukis Prancis, pencipta permadani dan kaca patri, desainer, tukang keramik, pematung, desainer, ilustrator. Fernand Leger lahir lahir 4 Februari 1881, di Argentan (Orne) dan meninggal 17 Agustus 1955, Gif-sur-Yvette (Essonne).

Pameran pertama lukisan Salim dilaksanakan di Sete - Neuilly, dekat kota Paris tahun 1948. Kemudian ia mengadakan pameran lain di Amsterdam, Paris, Jakarta, Tokyo, Jenewa. Ia pun memperoleh medali di festival di Perancis. Sejak tahun 1957 sampai kematiannya (13 Oktober 2008 atau 14 Oktober 2008 penanggalan Indonesia) Ia tinggal di sebuah apartemen yang sangat kecil di Neuilly-sur-Seine dekat kota Paris.

Salim pernah kembali ke Indonesia dari tahun 1932 sampai 1935, dan bekerja pada perusahaan Java Neon Company di Batavia (kini Jakarta) sambil membantu Hatta dan Sjahrir dalam mengurus bagian pendidikan partai PNI dan majalahnya, Daoelat Ra'jat ("daulat rakyat"). Ia kembali ke Prancis pada tahun 1935 dan menekuni lukis sampai akhir hayatnya. Walaupun pernah ditawari Soebandrio untuk menjadi salah satu menteri di Indonesia, Salim menjawab dengan bijak (kurang lebih) "saya seorang pelukis, adakah yang lebih baik dari itu?".

Salim membangun jembatan antar budaya untuk membangun karyanya.

Sumber tulisan :
Décès du peintre indonésien Salim
http://www.cyberpresse.ca/arts/arts-visuels/200810/15/01-29604-deces-du-peintre-indonesien-salim.php

Salim (peintre)
http://fr.wikipedia.org/wiki/Salim_%28peintre%29

Sumber Gambar :
La France en Indonésie et au Timor oriental
Ambassade de France à Jakarta

http://www.ambafrance-id.org/Deces-du-peintre-indonesien-Salim
Association Franco-Indonesienne
http://pasarmalam.free.fr/activites/2008.html

Baca juga buku :
Ajip Rosidi, Salim, un peintre Indonésien à Paris, Jakarta, 2003 : Pustaka Jaya, 108 p.