Pekanbaru yang Lebih Sehat, Bersepedalah
Reupload 19/02/2013
Kebijakan-kebijakan yang berpihak pada manusia dan kesehatannya, bukan yang lebih berpihak pada kendaraan bermotor.
Pekanbaru, 19 Januari 2013. Seharusnya menjadi hari yang cerah. Tapi pagi ini dimulai dengan rasa kesal karena telat bangun. Dengan bayang-bayang mendung di pikiran dan di atas langit, aktivitas ke kantor harus tetap dijalani. Sepeda lipat tetap harus dikayuh untuk sampai ke kantor. Jalur harian umban sari – palapa tetap harus disusuri demi mengepulkan asap dapur.
Sepanjang jalan hingga ke Jembatan Siak III, seperti biasa, banyak perilaku berkendaraan masyarakat kota ini yang menambah kekesalan. Menuruni jembatan, tergerak hati untuk sedikit merubah jalur, sekedar menghibur pikiran dan hati.
Pangkal (atau ujung) Jembatan Siak III adalah jalan Senapelan, salah satu jalan tua di kota Pekanbaru. Masih tersisa dua rumah kayu berpanggung dalam kondisi kritis. Ah kalau mengingat itu malah jadi tambah kesal. Sepeda kemudian saya arahkan ke salah satu warung kopi di tepi jalan. Warung kopi yang sangat terkenal di kota Pekanbaru bahkan hingga ke ibu kota negeri.
Warung kopi yang selalu ramai dan meramaikan jalan Senapelan dengan jubelan kendaraan roda empat terparkir di kedua sisi jalan. Seporsi dimsum dan seporsi bakpaw ayam tak lama kemudian memenuhi tas sepeda yang menggantung di tiang jok si sepeda lipat. Perjalanan dilanjutkan kembali menyusuri rute rutin melewati jalan Panglima Undan, jalan yang cukup teduh oleh pohon-pohon tua yang sangat rindang. Dan akhirnya tembus ke jalan Riau setelah mencapai ujung jalan Guru yang sepi, nyaman dan ideal untuk bersepeda.
Memasuki jalan Riau saya disambut pemandangan yang tidak biasa dan tidak rutin. Saya “disambut” oleh barisan pasukan berbaju kaos kuning cerah. Ternyata barisan ini adalah rombongan polisi dan polwan yang sedang berjogging pagi. Wah tumben, biasanya yang selalu saya temui adalah barisan polisi berbaju coklat keabuan dari satuan Brimob. Ini pastinya dari kantor Poltabes yang terletak di jalan Jend. Ahmad Yani.
Saya langsung teringat berita yang saya baca di beberapa media online, bagaimana Kapolda Riau sedang getol-getolnya melancarkan program Penurunan Berat Badan (PBB). Ternyata bukan hanya jargon tetapi benar-benar dilaksanakan oleh jajaran kepolisian.
Ada idiom yang sejak saya duduk di sekolah dasar dan masih diulang-ulang hingga saat ini. Polisi kok gendut? Gimana mau ngejar maling? Belum ketangkap polisinya sudah kecapekan. Sebuah pengandaian yang ngasal. Memangnya kerjaan polisi cuma mengejar maling?
Masih banyak lagi pekerjaan pak dan bu polisi tentunya. Mulai dari mengatur lalu lintas, penyelidikan dan penyidikan, melatih masyarakat berkendaraan dan lain sebagainya. Tetapi semua kegiatan tersebut memerlukan kondisi tubuh dan pikiran yang selalu dalam kondisi fit. Dalam kondisi terbaik. 100%. Dari pagi hingga sore bahkan mungkin hingga larut malam.
Tentunya akan sangat sulit menjaga konsentrasi dan kualitas hasil kerja jika kondisi tubuh tidak fit. Dan tentunya sulit menjaga kebugaran tubuh jika memiliki kelebihan berat tubuh. Beberapa gejala seperti mudah lelah, cepat mengantuk dan sulit berkonsentrasi akan terus mengganggu selama waktu bekerja.
Dan tentu saja seragam kesatuan seperti seragam polisi lebih cantik dan enak dipandang jika digunakan oleh para polisi yang bertubuh proporsional dan bahkan langsing hehehe. Polisi berolahraga untuk menurunkan berat badan dan menjaga kebugaran, sebuah komitmen dari pihak kepolisian untuk memberikan pelayanan yang prima kepada warga kota Pekanbaru. Satu hal yang dapat membantu kota ini menjadi kota yang lebih layak, ramah dan nyaman untuk dihuni.
Yang perlu disadari, jajaran kepolisian hanyalah satu unsur dari begitu banyak unsur yang membentuk, menghidupi dan berjalan di urat nadi kehidupan kota. Akan sangat sulit jika hanya satu unsur yang memperbaiki kondisinya sedangkan unsur lain menjadi faktor negatif yang dapat memperburuk kondisi kota ini.
Warga kota sebagai salah satu unsur yang cukup besar dan signifikan mempengaruhi kondisi kota, juga perlu melakukan perubahan paradigma secara mandiri (faktor dari dalam) sekaligus difasilitasi (faktor dari luar) untuk termotivasi atau bahkan dipaksa menjadi lebih baik sehingga berpengaruh secara luas bagi kota.
Disiplin di jalan raya, etika berkendaraan dan pola penggunaan kendaraan menjadi beberapa hal yang kadang sangat tidak masuk akal di kota ini. Lampu lalu lintas dipasang seakan akan hanya sebagai barang pajangan. Masih terlalu sering kita melihat bagaimana pengendara kendaraan menerobos ketika lampu masih atau telah merah. Pengendara enggan mengurangi kecepatan ketika ada penyeberang jalan. Atau masih merasa keren mengendarai motor tanpa menggunakan helm.
Seperti halnya ketika kita makan menggunakan fasilitas meja makan, ada etika menggunakan alat makan dan cara makan yang harus diikuti, begitu pula di jalan raya. Berbelok, berpindah jalur ataupun akan menghentikan kendaraan di pinggir jalan, gunakanlah lampu sign sebagai alat bantu untuk berkomunikasi dengan pengemudi lain.
Lampu hazard seharusnya digunakan ketika beriringan ataupun kendaraan berhenti di pinggir jalan karena ada kerusakan, malah semakin sering saya temukan digunakan sebagai tanda untuk jalan lurus ketika di perempatan. Hehehehe salah kaprah. Akibatnya pengendara lain dari sebelah kiri akan mengira kendaraan itu akan berbelok kiri begitu pula sebaliknya, karena lampu sign hanya terlihat dari satu sisi. Sepertinya tindakan yang cerdas menghidupkan lampu hazard ketika akan berjalan lurus di suatu perempatan, ternyata tindakan yang juga dapat mendatangkan bahaya.
Pola berkendaraan juga menjadikan kota Pekanbaru ini tidak nyaman untuk dihuni. Tindakan-tindakan yang dianggap sebagai kegiatan biasa sebenarnya ikut mendukung kota menjadi sakit. Bukan hal yang aneh jika melihat warga Pekanbaru, mengendarai motor hanya untuk mencapai jarak yang sangat dekat. Misalnya dari rumah ke warung yang hanya berjarak dua atau tiga rumah. Atau yang mungkin kurang disadari, bagaimana pergerakan silang warga menggunakan kendaraan bermotor di jam-jam sibuk. Sangat tidak efisien dan boros bahan bakar.
Ada apa dengan berjalan kaki? Ada apa dengan bersepeda?“Bu, kemarin saya lihat suami ibu berjalan kaki ke warung. Ada apa bu ?” kutipan kalimat yang ditanyakan oleh tetangga rumah kepada istri saya karena saya malas menggunakan motor untuk ke warung yang hanya berjarak sekitar 100 m dari rumah saya. Wah??? Sedihnya....
Semakin banyak komunitas bersepeda di kota Pekanbaru. Dengan berbagai kegiatan di hari akhir minggu. Perkembangan yang sangat menggembirakan. Pada hari itu pastinya terjadi pengurangan pemakaian bahan bakar yang berarti berkurang pula polusi. Tetapi bukankah hari Sabtu dan Minggu memang merupakan hari libur bagi banyak instansi dan perusahaan?
Jadi bagaimana dahsyatnya pengurangan polusi di kota ini jika terjadi perubahan pola berkendaraan dari menggunakan kendaraan bermotor di hari libur menjadi menggunakan sepeda dari hari Senin hingga Jumat sebagai moda transportasi menuju tempat bekerja ? Berolahraga setiap hari, mengurangi polusi setiap hari. Suai ? Hehehe
Pemerintah kota sebagai pemegang kebijaksanaan dan berada pada posisi “sponsor utama” perubahan fisik kota merupakan unsur lainnya di dalam kota. Unsur yang memegang peran kunci tentunya. Beberapa fasilitas prasarana yang telah ada di kota ini sebenarnya sudah mulai memperlihatkan keberpihakan bagi pejalan kaki. Tetapi tentunya masih banyak yang dapat dilakukan agar terjadi perubahan pola berkendaraan warga kota.
Suhu udara yang panas di Pekanbaru dapat diredam dengan semakin memperbanyak penanaman pohon di dalam kota dan memperluas area hijau (merubah perkerasan menjadi hamparan rumput di area parkir perkantoran dan pertokoan misalnya). Yang dapat dijadikan salah satu syarat pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Atau menjadi sebagian “alat bayar” retribusi PBB.
Apalagi saat ini pembayaran PBB telah diurus oleh Dinas Pendapatan Daerah kota bukan lagi oleh Kantor Pajak. Kompensasi pengurangan biaya PBB dihitung dari kontribusi perluasan area hijau di lahan tersebut. Panas yang tadinya dipantulkan oleh area parkir akhirnya sebagian besar diserap dan akan membantu penurunan suhu kota sekaligus menjadi area resapan.
Bagaimana jika keluar pula peraturan Walikota yang mewajibkan semua PNS di Pemko wajib menggunakan sepeda tiga kali dalam seminggu atau bahkan tiap hari? Dan peraturan Gubernur bagi perusahaan-perusahaan swasta mewajibkan pegawainya juga untuk bersepeda. Tentunya didukung dengan penyediaan fasilitas kamar mandi yang memadai di kantor-kantor.
Penambahan fasilitas parkir kendaraan bermotor roda dua di setiap halte busway yang aman dan nyaman tentunya menjadi tambahan alasan untuk beralih moda trasnportasi. Atau bagaimana jika kebijakan untuk memperingan pengambilan kredit kendaraan bermotor dicabut dan diganti dengan keringanan untuk pengambilan kredit sepeda? Dengan Rp. 200.000,- sudah dapat membawa pulang sepeda dengan harga tiga jutaan.
Kebijakan-kebijakan yang berpihak pada manusia dan kesehatan manusia, bukan yang lebih berpihak pada kendaraan bermotor.
Tentunya warga kota akan semakin termotivasi untuk menggunakan sepeda, jika fasilitas jalur khusus bersepeda dapat segera terwujud. InsyaAllah kita akan tinggal di kota yang nyaman, ramah, sehat dan layak huni. Bayangan panjang tentang kemungkinan sosial budaya kota kita menjadikan hari saya kembali cerah secerah matahari pagi yang menerangi kota Pekanbaru tercinta.
(sebuah catatan kaki sosial budaya, ditulis oleh: Dedi Ariandi, Arsitek dan pegiat sepeda)