Cerpen Riau : Pencuri Restu
PENCURI RESTU
Oleh DP Anggi
Oleh DP Anggi
Reupload 17/03/02013
Aku tidak ingin berakhir dengan cemoohan mereka. Aku tidak ingin terus menjadi pecundang. Cemoohan itu terngiang-ngiang hingga untuk terlelap begitu sulit. Bagaikan mimpi buruk yang terus menghantui setiap detakku. Semua bermula ketika kehidupan manis harus direnggut oleh roda kehidupan yang memang harus berputar.
Masa sekolah dasar, aku cukup pintar. Selalu meraih juara kelas. Jauh, sebelum aku pindah sekolah. Seketika aku menjadi seperti anak yang bodoh. Tidak pernah ingin belajar dengan sungguh-sungguh. Setiap ditanyai tentang cita-cita, aku menjawab dengan apa saja yang teringat olehku. Bisa jadi polisi, bisa jadi pilot, bisa jadi dokter, bisa jadi apa saja. Yang penting membuat mereka berhenti bertanya.
Ibuku heran. Ia menjadi sering memarahiku karena nilaiku yang menurun. Pindah rumah dan pindah sekolah membuatku frustasi. Rumahku jauh dari keramaian. Dikelilingi hutan, dan yang ada hanya anak-anak desa yang tidak aku sukai. Sekolahku yang baru hanya ada 6 kelas. Tidak seperti sekolahku yang lama.
Ayah sudah meninggal sejak aku berusia 4 tahun. Sedangkan ibu yang sibuk bekerja tidak sempat memperkenalkanku kepada tetangga. Setidaknya, wong deso itu bisa mengajakku bermain. Ibu tidak suka bercerita banyak kepada tetangga. Awal kepindahan kami saja sudah banyak gosip yang beredar. Tentang janda beranak satu.
Serangan jantung ayah bukan tanpa sebab. Ibu bilang, ayah tidak bisa menerima kenyataan ketika namanya dibawa-bawa atasannya dalam sebuah kasus korupsi. Bahkan, semua kesalahan itu dilimpahkan kepadanya. Ibu kesal kepada ayah, karena ibu sudah berkali-kali melarangnya agar tidak terjun ke dunia politik.
Masa sekolah menengah pertama, aku disuguhi ibu dengan fasilitas yang lebih baik daripada ketika masih sekolah dasar dulu. Usaha ibu sudah mulai tampak hasilnya, sudah mulai mendatangkan laba yang besar. Rumah yang kecil itu, sudah direnovasi menjadi lebih megah. Tidak ketinggalan, tetangga masih suka saja bergosip di balik tembok. Kadang, memang sengaja berbicara sedikit keras karena ibu tidak pernah merespon mereka.
Ibu bersedia mengantar jemputku pergi dan pulang sekolah. Walau terkadang aku kesal, karena ibu terlambat menjemputku. Jika seperti itu, aku tidak akan berbicara sampai hatiku lembut sendiri. Ibu mengatakan aku mirip seperti ayah—keras kepala.
Sekolah di SMP yang RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) membuatku sedikit tersaingi. 3 tahun itu, aku tidak pernah meraih juara kelas. Hanya rangking yang tidak akan beranjak dari 10 besar. Alhamdulillah. Usaha ibu tidak sia-sia meski berjuang antara lelah dan keringat yang mengucur deras, serta menahan dinginnya hujan ketika langit menurunkan air dari celah awan hitam.
Tidak terasa waktu berlalu. Selulus dari SMP, lagi-lagi aku disekolahkan ibu ke sekolah terbaik, SMA yang bertaraf Internasional. Aku benar-benar dibentuk ibu menjadi anak yang cerdas. Ibu berharap, anak lelaki tunggalnya mampu menghantarkannya kepada kebahagiaan dan melupakan kekesalan kepada ayah walau bertahun-tahun sudah seharusnya ibu melupakan itu.
Ibu membuatku seperti kupu-kupu yang harus tumbuh dan besar sama persis seperti keinginan induknya. Harus sama dengan keinginan ibu tanpa berkata ‘tidak’. Ketika semester I di SMA, aku meraih juara I. Ibu sangat bangga denganku. Dan, akhirnya aku dipilih masuk jurusan IPA karena hanya ada dua pilihan jurusan di SMA ketika itu, IPA dan IPS.
***
Mungkin, aku memang bodoh. Ketika guru-guru memberikan kesempatan untukku mengikuti SNMPTN Undangan, enam pilihan jurusan di dua universitas terbuka lebar untukku. Namun, entah apa yang ada di benakku ketika itu, aku hanya memilih 4 jurusan. Aku meletakkan jurusan Ilmu Pemerintahan di urutan pertama, selanjutnya jurusan Teknik Sipil, Pendidikan Matematika dan Pendidikan Matematika di universitas yang berbeda dengan sebelumnya.
Ternyata, aku diterima di jurusan Ilmu Pemerintahan. Aku baru tahu, urutan pemilihan jurusan begitu mempengaruhi. Entah aku yang benar bodoh, atau guru terlalu sibuk hingga lupa memberitahukanku tentang hal ini. Guru dan teman-teman sekolah menertawakanku. Dari jurusan IPA berubah ke IPS. Menurutku ini sudah jalan-Nya, tidak ada alasan menolak. Kesempatan tidak datang dua kali—itulah motto hidupku.
Dengan bahagianya, ibu memelukku. Inilah pertama kali pelukan hangat ibu mendarat di tubuhku setelah sekian lama ia menyembunyikan senyum dari wajahnya yang teduh. Ibu tidak tahu sama sekali jurusanku sangat berhubungan dengan dunia politik. Namun, demi ibuku. Demi ayahku. Aku akan belajar sungguh-sungguh dan membuat mereka bangga kepadaku.
Suatu hari, akupun berpamitan untuk tinggal di sebuah rumah kontrakan yang lebih dekat dengan kampusku yang berada di kota. Ibu mengizinkanku dengan memberikan sejumlah uang. Ibu juga membelikanku sepeda motor. Entah tunai, atau kredit aku tidak tahu. Aku tidak berani menanyakannya. Aku takut ibu berubah pikiran.
***
Mata kuliahnya benar-benar membuat aku pusing. Tidak ada matematika, tidak ada kimia, tidak ada fisika. Tidak ada angka-angka dan rumus-rumus. Hanya ada teori-teori dari para ahli yang nama-namanya pun susah kusebut. Beruntung di semester pertama aku menemui mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Pancasila, Bahasa Indonesia. Dan, selebihnya seperti Pengantar Ilmu Politik, Pengantar Ilmu Pemerintahan, dan entah apa lagi, aku lupa.
Begitulah persemester ku lalui dengan tekun. Aku hanya ingin membuat ibuku bangga kepadaku. Aku pun wisuda dengan menjadi mahasiswa yang memiliki IPK tertinggi di kampusku—3,73. Begitu memuaskan. Namun, bukan itu yang kucari. Hari-hariku di kampus juga tidak terlepas dari belajar berorganisasi dan mulai membaca beberapa fenomena perpolitikan.
Sebuah tawaran diberikan padaku. Dari seorang pejabat yang menginginkan aku menjadi ketua partainya jika aku mau menikah dengan anak bungsunya. Tidak bisa dipungkiri, kegengsian mengalahkan rasionalitas. Siapa yang tidak ingin bermenantukan sarjana ilmu politik dengan IPK tertinggi. Semula hatiku menolak, aku meminta beberapa waktu untuk berpikir. Setelah aku cermati, ternyata orang ini adalah orang yang aku cari selama ini.
Aku pun pulang ke kampung halaman. Ibu masih marah karena 4 tahun berlalu ia baru tahu jika jurusanku berhubungan erat dengan politik. Dengan perlahan, aku meminta restu untuk menikah dengan putri dari orang yang telah merenggut nyawa ayah.
“Tidak! Jika ibu tahu kau akhirnya akan terjun ke politik, ibu tidak akan pernah melepaskanmu untuk kuliah ke kota! Cukup ayahmu saja! Ibu tidak ingin kau ikut mati karena politik!”
“Izinkan aku pergi, Bu! Izinkan aku menikahi anak lelaki biadab itu!”
“Tidak, Nak! Ibu tidak akan merestuimu!”
“Harus! Aku akan balas dendam kepada lelaki yang telah merenggut hari-hari indah yang seharusnya kini kita lewati bersama ayah!” ucapku sambil membereskan pakaian-pakaianku.
“Kau mau kemana? Jika memang kau tidak ingin menuruti ibu, sudahlah! Kau bukan lagi anakku!”
“Baik! Aku akan buktikan, aku bisa menyeret lelaki busuk itu ke jeruji besi! Aku tidak akan diam sebelum ia mendapat hukuman setimpal!”
***
Beberapa minggu kemudian, aku bisa pastikan ibu melihat wajahku di televisi. ‘Mahfudz Hermawan menikahi putri bungsu pejabat tinggi negara’. Sejak pernikahan itu, aku memainkan skenario ganda. Bisa sebagai menantu pejabat itu, dan menjadi ketua partai yang diam-diam ingin menyeretnya ke penjara. Ternyata politik itu syurga untukku, aku lebih didengar dan menjadi panutan. Puas, seakan-akan dunia ada digenggamanku. Tak ada lagi yang mencemoohku. Tak ada lagi suara sumbang yang sejak dulu kudengar.
Aku benar-benar terkejut melihat rahasia di balik kejayaannya. Kekayaan yang selama ini ia agung-agungkan ternyata hasil korupsi. Ada banyak bukti transfer yang terselip dalam berkas yang kutemukan. Milyaran dana meluncur deras ke rekeningnya, surat-surat perjanjian pun banyak kudapati. Dan, aku juga menemukan berkas milik ayahku yang dicap merah. Apa artinya ini!
“Biadab! Benar-benar biadab!” ucapku mengepal tangan. Semua berkas sudah berada di tanganku. Semua bukti sudah kuat, hanya tinggal menunggu tanggal mainnya saja.
Entah atas jasa siapa, akhirnya ayah mertuaku tahu bahwa aku adalah anak dari Yoma Hermawan yang dulu pernah ia jadikan kambing hitam atas kepicikannya. Ketika aku ingin menyerahkan berkas itu ke pengacaraku, mobil yang aku kendarai dikepung oleh pesuruh ayah mertuaku.
Aku disekap di sebuah gudang yang entah di daerah mana. Aku tidak tahu, karena beberapa saat setelah keluar dari mobil, aku tidak sadarkan diri. Mataku ditutup, aku dipasung layaknya orang gila yang takkan dibiarkan lepas. Berhari-hari aku dibiarkan di sana. Tanpa diberi makan, tanpa diberi minum. Aku mencoba berontak dan melepaskan diri. Namun sia-sia.
Aku teringat ibu. Tangisku pecah, mataku memerah. Jika ia tahu keadaanku seperti ini, ia pasti tidak hanya akan bersedih. Namun, bisa mati bunuh diri. Tenggorokanku begitu kering, aku merasa sangat pusing. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka yang diikuti derap langkah.
“Hahahaha! bagaimana menantuku? Bahagia bukan tinggal di sini? Dasar pecundang! Lihat dirimu! Kau lemah! Lemah! Aku sudah mengatakan kepada isterimu kalau kau aku tugaskan ke luar negeri. Anakku takkan mencarimu!”
“Kau picik! Kau lelaki keji! Aku tidak perduli anakmu! Aku tidak pernah merasa menjadi suaminya! Aku juga tidak pernah merasa menjadi menantumu!”
“Hahahaha! Bagaimana? Apa kau sudah siap menyusul ayahmu?!” lanjutnya. Aku tidak tahu entah seperti apa caranya membunuhku. Aku tidak mendengar suara pelatuk yang ditarik. Namun, aku mendengar seperti ada benda tajam yang ia main-mainkan sejak tadi.
“Silakan kau bunuh aku! Aku sudah tahu semua akan berakhir dengan kematian!”
Seketika, benda yang tajam terasa menusuk perutku. Tajamnya tidak terasa, benda itu ditusukkan semakin dalam. Lelaki itu menarik pisaunya, dan menusukkannya sekali lagi di tempat yang sama. Aku melihat ayah samar-samar mengulurkan tangannya. Dan, di sisi lain aku melihat ibu yang menangis tersedu-sedu.
“Ibu! Aku dan ayah seperti ini adalah karena tidak mendapat restu darimu! Maafkan kami! Kami pencuri restumu, Bu!”
***
Biodata Penulis:
DP Anggi adalah Mahasiswi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau. Bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Founder di KOPVI CM (Komunitas Penyebar Virus Cinta Menulis).
Masa sekolah dasar, aku cukup pintar. Selalu meraih juara kelas. Jauh, sebelum aku pindah sekolah. Seketika aku menjadi seperti anak yang bodoh. Tidak pernah ingin belajar dengan sungguh-sungguh. Setiap ditanyai tentang cita-cita, aku menjawab dengan apa saja yang teringat olehku. Bisa jadi polisi, bisa jadi pilot, bisa jadi dokter, bisa jadi apa saja. Yang penting membuat mereka berhenti bertanya.
Ibuku heran. Ia menjadi sering memarahiku karena nilaiku yang menurun. Pindah rumah dan pindah sekolah membuatku frustasi. Rumahku jauh dari keramaian. Dikelilingi hutan, dan yang ada hanya anak-anak desa yang tidak aku sukai. Sekolahku yang baru hanya ada 6 kelas. Tidak seperti sekolahku yang lama.
Ayah sudah meninggal sejak aku berusia 4 tahun. Sedangkan ibu yang sibuk bekerja tidak sempat memperkenalkanku kepada tetangga. Setidaknya, wong deso itu bisa mengajakku bermain. Ibu tidak suka bercerita banyak kepada tetangga. Awal kepindahan kami saja sudah banyak gosip yang beredar. Tentang janda beranak satu.
Serangan jantung ayah bukan tanpa sebab. Ibu bilang, ayah tidak bisa menerima kenyataan ketika namanya dibawa-bawa atasannya dalam sebuah kasus korupsi. Bahkan, semua kesalahan itu dilimpahkan kepadanya. Ibu kesal kepada ayah, karena ibu sudah berkali-kali melarangnya agar tidak terjun ke dunia politik.
Masa sekolah menengah pertama, aku disuguhi ibu dengan fasilitas yang lebih baik daripada ketika masih sekolah dasar dulu. Usaha ibu sudah mulai tampak hasilnya, sudah mulai mendatangkan laba yang besar. Rumah yang kecil itu, sudah direnovasi menjadi lebih megah. Tidak ketinggalan, tetangga masih suka saja bergosip di balik tembok. Kadang, memang sengaja berbicara sedikit keras karena ibu tidak pernah merespon mereka.
Ibu bersedia mengantar jemputku pergi dan pulang sekolah. Walau terkadang aku kesal, karena ibu terlambat menjemputku. Jika seperti itu, aku tidak akan berbicara sampai hatiku lembut sendiri. Ibu mengatakan aku mirip seperti ayah—keras kepala.
Sekolah di SMP yang RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) membuatku sedikit tersaingi. 3 tahun itu, aku tidak pernah meraih juara kelas. Hanya rangking yang tidak akan beranjak dari 10 besar. Alhamdulillah. Usaha ibu tidak sia-sia meski berjuang antara lelah dan keringat yang mengucur deras, serta menahan dinginnya hujan ketika langit menurunkan air dari celah awan hitam.
Tidak terasa waktu berlalu. Selulus dari SMP, lagi-lagi aku disekolahkan ibu ke sekolah terbaik, SMA yang bertaraf Internasional. Aku benar-benar dibentuk ibu menjadi anak yang cerdas. Ibu berharap, anak lelaki tunggalnya mampu menghantarkannya kepada kebahagiaan dan melupakan kekesalan kepada ayah walau bertahun-tahun sudah seharusnya ibu melupakan itu.
Ibu membuatku seperti kupu-kupu yang harus tumbuh dan besar sama persis seperti keinginan induknya. Harus sama dengan keinginan ibu tanpa berkata ‘tidak’. Ketika semester I di SMA, aku meraih juara I. Ibu sangat bangga denganku. Dan, akhirnya aku dipilih masuk jurusan IPA karena hanya ada dua pilihan jurusan di SMA ketika itu, IPA dan IPS.
***
Mungkin, aku memang bodoh. Ketika guru-guru memberikan kesempatan untukku mengikuti SNMPTN Undangan, enam pilihan jurusan di dua universitas terbuka lebar untukku. Namun, entah apa yang ada di benakku ketika itu, aku hanya memilih 4 jurusan. Aku meletakkan jurusan Ilmu Pemerintahan di urutan pertama, selanjutnya jurusan Teknik Sipil, Pendidikan Matematika dan Pendidikan Matematika di universitas yang berbeda dengan sebelumnya.
Ternyata, aku diterima di jurusan Ilmu Pemerintahan. Aku baru tahu, urutan pemilihan jurusan begitu mempengaruhi. Entah aku yang benar bodoh, atau guru terlalu sibuk hingga lupa memberitahukanku tentang hal ini. Guru dan teman-teman sekolah menertawakanku. Dari jurusan IPA berubah ke IPS. Menurutku ini sudah jalan-Nya, tidak ada alasan menolak. Kesempatan tidak datang dua kali—itulah motto hidupku.
Dengan bahagianya, ibu memelukku. Inilah pertama kali pelukan hangat ibu mendarat di tubuhku setelah sekian lama ia menyembunyikan senyum dari wajahnya yang teduh. Ibu tidak tahu sama sekali jurusanku sangat berhubungan dengan dunia politik. Namun, demi ibuku. Demi ayahku. Aku akan belajar sungguh-sungguh dan membuat mereka bangga kepadaku.
Suatu hari, akupun berpamitan untuk tinggal di sebuah rumah kontrakan yang lebih dekat dengan kampusku yang berada di kota. Ibu mengizinkanku dengan memberikan sejumlah uang. Ibu juga membelikanku sepeda motor. Entah tunai, atau kredit aku tidak tahu. Aku tidak berani menanyakannya. Aku takut ibu berubah pikiran.
***
Mata kuliahnya benar-benar membuat aku pusing. Tidak ada matematika, tidak ada kimia, tidak ada fisika. Tidak ada angka-angka dan rumus-rumus. Hanya ada teori-teori dari para ahli yang nama-namanya pun susah kusebut. Beruntung di semester pertama aku menemui mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Pancasila, Bahasa Indonesia. Dan, selebihnya seperti Pengantar Ilmu Politik, Pengantar Ilmu Pemerintahan, dan entah apa lagi, aku lupa.
Begitulah persemester ku lalui dengan tekun. Aku hanya ingin membuat ibuku bangga kepadaku. Aku pun wisuda dengan menjadi mahasiswa yang memiliki IPK tertinggi di kampusku—3,73. Begitu memuaskan. Namun, bukan itu yang kucari. Hari-hariku di kampus juga tidak terlepas dari belajar berorganisasi dan mulai membaca beberapa fenomena perpolitikan.
Sebuah tawaran diberikan padaku. Dari seorang pejabat yang menginginkan aku menjadi ketua partainya jika aku mau menikah dengan anak bungsunya. Tidak bisa dipungkiri, kegengsian mengalahkan rasionalitas. Siapa yang tidak ingin bermenantukan sarjana ilmu politik dengan IPK tertinggi. Semula hatiku menolak, aku meminta beberapa waktu untuk berpikir. Setelah aku cermati, ternyata orang ini adalah orang yang aku cari selama ini.
Aku pun pulang ke kampung halaman. Ibu masih marah karena 4 tahun berlalu ia baru tahu jika jurusanku berhubungan erat dengan politik. Dengan perlahan, aku meminta restu untuk menikah dengan putri dari orang yang telah merenggut nyawa ayah.
“Tidak! Jika ibu tahu kau akhirnya akan terjun ke politik, ibu tidak akan pernah melepaskanmu untuk kuliah ke kota! Cukup ayahmu saja! Ibu tidak ingin kau ikut mati karena politik!”
“Izinkan aku pergi, Bu! Izinkan aku menikahi anak lelaki biadab itu!”
“Tidak, Nak! Ibu tidak akan merestuimu!”
“Harus! Aku akan balas dendam kepada lelaki yang telah merenggut hari-hari indah yang seharusnya kini kita lewati bersama ayah!” ucapku sambil membereskan pakaian-pakaianku.
“Kau mau kemana? Jika memang kau tidak ingin menuruti ibu, sudahlah! Kau bukan lagi anakku!”
“Baik! Aku akan buktikan, aku bisa menyeret lelaki busuk itu ke jeruji besi! Aku tidak akan diam sebelum ia mendapat hukuman setimpal!”
***
Beberapa minggu kemudian, aku bisa pastikan ibu melihat wajahku di televisi. ‘Mahfudz Hermawan menikahi putri bungsu pejabat tinggi negara’. Sejak pernikahan itu, aku memainkan skenario ganda. Bisa sebagai menantu pejabat itu, dan menjadi ketua partai yang diam-diam ingin menyeretnya ke penjara. Ternyata politik itu syurga untukku, aku lebih didengar dan menjadi panutan. Puas, seakan-akan dunia ada digenggamanku. Tak ada lagi yang mencemoohku. Tak ada lagi suara sumbang yang sejak dulu kudengar.
Aku benar-benar terkejut melihat rahasia di balik kejayaannya. Kekayaan yang selama ini ia agung-agungkan ternyata hasil korupsi. Ada banyak bukti transfer yang terselip dalam berkas yang kutemukan. Milyaran dana meluncur deras ke rekeningnya, surat-surat perjanjian pun banyak kudapati. Dan, aku juga menemukan berkas milik ayahku yang dicap merah. Apa artinya ini!
“Biadab! Benar-benar biadab!” ucapku mengepal tangan. Semua berkas sudah berada di tanganku. Semua bukti sudah kuat, hanya tinggal menunggu tanggal mainnya saja.
Entah atas jasa siapa, akhirnya ayah mertuaku tahu bahwa aku adalah anak dari Yoma Hermawan yang dulu pernah ia jadikan kambing hitam atas kepicikannya. Ketika aku ingin menyerahkan berkas itu ke pengacaraku, mobil yang aku kendarai dikepung oleh pesuruh ayah mertuaku.
Aku disekap di sebuah gudang yang entah di daerah mana. Aku tidak tahu, karena beberapa saat setelah keluar dari mobil, aku tidak sadarkan diri. Mataku ditutup, aku dipasung layaknya orang gila yang takkan dibiarkan lepas. Berhari-hari aku dibiarkan di sana. Tanpa diberi makan, tanpa diberi minum. Aku mencoba berontak dan melepaskan diri. Namun sia-sia.
Aku teringat ibu. Tangisku pecah, mataku memerah. Jika ia tahu keadaanku seperti ini, ia pasti tidak hanya akan bersedih. Namun, bisa mati bunuh diri. Tenggorokanku begitu kering, aku merasa sangat pusing. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka yang diikuti derap langkah.
“Hahahaha! bagaimana menantuku? Bahagia bukan tinggal di sini? Dasar pecundang! Lihat dirimu! Kau lemah! Lemah! Aku sudah mengatakan kepada isterimu kalau kau aku tugaskan ke luar negeri. Anakku takkan mencarimu!”
“Kau picik! Kau lelaki keji! Aku tidak perduli anakmu! Aku tidak pernah merasa menjadi suaminya! Aku juga tidak pernah merasa menjadi menantumu!”
“Hahahaha! Bagaimana? Apa kau sudah siap menyusul ayahmu?!” lanjutnya. Aku tidak tahu entah seperti apa caranya membunuhku. Aku tidak mendengar suara pelatuk yang ditarik. Namun, aku mendengar seperti ada benda tajam yang ia main-mainkan sejak tadi.
“Silakan kau bunuh aku! Aku sudah tahu semua akan berakhir dengan kematian!”
Seketika, benda yang tajam terasa menusuk perutku. Tajamnya tidak terasa, benda itu ditusukkan semakin dalam. Lelaki itu menarik pisaunya, dan menusukkannya sekali lagi di tempat yang sama. Aku melihat ayah samar-samar mengulurkan tangannya. Dan, di sisi lain aku melihat ibu yang menangis tersedu-sedu.
“Ibu! Aku dan ayah seperti ini adalah karena tidak mendapat restu darimu! Maafkan kami! Kami pencuri restumu, Bu!”
***
Biodata Penulis:
DP Anggi adalah Mahasiswi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau. Bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Founder di KOPVI CM (Komunitas Penyebar Virus Cinta Menulis).