Jika Kota (Wisata Tembilahan)
Reupload 18/03/2013
Kegiatan menghitung jumlah jembatan yang membentang di setiap parit yang cukup lebar menjadi kegiatan umum bagi semua pengunjung yang menuju ke sebuah kawasan pemukiman dan pusat pemerintahan di hilir sungai Indragiri, Inderagiri Hilir. Jembatan yang sebagian besar begitu menjulang dari ketinggian jalur jalan. Sampai-sampai muncul kelakar “menara jembatan” karena begitu menjulang tegak posisi jembatan ini.
Mungkin hanya sedikit yang mengetahui bahwa parit-parit lebar yang sangat panjang ini adalah parit buatan tangan manusia. Sebuah karya agung hasil karya manusia dalam usaha mengolah lahan untuk kehidupannya.
Diperkirakan pada abad ke -18, suku Banjar dan Bugis masuk ke kawasan ini, membawa keahlian mereka mengolah lahan yang memiliki kondisi serupa dengan kampung halaman mereka. Tanah gambut berawa dan sungai yang memiliki siklus pasang surut.
Di beberapa area masih terlihat bentangan luas kebun kelapa masyarakat yang sayangnya sebagian telah beralih menjadi kebun kelapa sawit. Apa pun alasan dan motivasi awal kedua suku besar ini hijrah ke daerah Inderagiri menjadi kalah penting dibandingkan keahlian yang dibawa serta, dan hasil karya yang dapat dilihat hingga saat ini.
Parit-parit besar/gajah ini digunakan sebagai jalur transportasi dan alat angkut hasil panen kebun kelapa yang terbentang hingga beberapa kilometer dari sungai Indragiri. Parit-parit ini ada yang memiliki panjang hingga beberapa kilometer dan saling tersambung antara satu parit dengan parit lainnya. Membentuk sebuah jaringan sistem transportasi air yang sangat kompleks sekaligus efisien.
Karya besar dari para pendahulu kita yang dapat menjadi bahan pelajaran dan penelitian bagaimana membangun pemukiman pada lahan yang relatif datar, bergambut dan rawa serta berada di tepi sungai besar yang memiliki siklus pasang surut.
Aktifitas lalu lalang perahu membawa hasil kebun ini yang kemudian mengharuskan ketinggian jembatan dibangun jauh dari level jalan. Mengingatkan kita setiap mendaki jembatan, bahwa ada aktifitas yang telah berlangsung ratusan tahun dan masih berlanjut hingga saat ini di parit-parit tersebut. Mengingatkan kita pada keberadaan sungai Inderagiri yang merupakan urat nadi pergerakan manusia.
Bahkan jauh sebelum mencapai kawasan perkebunan kelapa yang terbagi-bagi oleh parit besar tersebut, sepanjang perjalanan menuju hilir sungai Indragiri, kita akan selalu dikawal oleh sungai Indragiri, kadang dari sebelah kanan jalan, kadangkala dari sebelah kiri jalan. Seakan berusaha mengingatkan kita akan keberadaannya yang begitu besar dan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang bermukim di tepiannya.
Pada saat memasuki area pusat pemukiman dan pemerintahan di kawasan ini, hilang pupus ingatan dan kesan bahwa dianya dibangaun di tepian sungai besar. Tembilahan, sebuah kawasan administratif baru, lahir sejak tahun 1965, sayangnya pada saat ini dibangun berorientasi daratan bukan sungai.
Kawasan dibangun tanpa berorientasi pada bentangan alam yang dominan yaitu sungai. Tiada memanfaatkan kondisi periodik pasang surutnya sungai dalam mengatur sirkulasi buangan parit, sehingga tidak aneh jika di tepi-tepi jalan utama terlihat air parit yang menggenang tidak bergerak.
Bahkan bagi orang yang baru datang ke daerah ini akan sulit menentukan di manakah "posisi" sungai Indragiri terhadap Tembilahan. Memang bukan hal yang aneh jika kemudian penataan dan perencanaan kawasan berorientasi pada sirkulasi kendaraan beroda, apalagi bagi kawasan administratif yang terbilang baru berkembang dan memiliki keinginan untuk sama dengan kawasan-kawasan lain yang telah lebih dahulu berkembang dan maju.
Kadang juga bukan hal yang salah. Tetapi alangkah sangat disayangkannya jika penataan dan rencana penataan kawasan sama sekali tidak mengangkat keunikan yang ditawarkan oleh bentangan alam semula jadi dan belajar dari contoh-contoh sistem permukiman dan usaha yang dibuat oleh para pendahulu. Apalagi contoh yang ada ini merupakan bentangan jaring sistem skala besar dan luas, dan telah teruji selama berabad abad.
Sangat disayangkan ketika pengembangan suatu kawasan mengabaikan kekayaan budaya setempat dan dapat dijadikan faktor unggulan. Unsur-unsur pembeda dari kawasan lain tidak dimanfaatkan bahkan tidak pernah dilirik, dikaji apalagi diimplementasikan pada rencana pengembangan kawasan.
Tembilahan sebagai sebuah kawasan pemukiman yang relatif sudah semakin maju, dan melengkapi diri dengan berbagai fasilitas untuk kemudahan, kenyamanan dan keamanan kota juga menawarkan beberapa hal yang menarik. Salah satunya adalah wisata kuliner dari tiga suku besar di kawasan ini, Melayu, Banjar dan Bugis.
Ikan Senangin bakar sebagai makan malam bolehlah sebagai pelepas lelah perjalanan dari Pekanbaru walau sambil dikerubungi nyamuk yang sangat agresif. Pagi hari menjadi jadwal wisata kuliner utama dengan menu sup ayam banjar, ayam masak merah khas banjar serta semangkus soto banjar. Wah makanan banjar semua, masih harus kembali lagi ke Tembilahan untuk mencoba berbagai kekayaan kulinernya.
Yang menjadi tanda tanya adalah jalur yang rusak parah dengan genangan air di beberapa ruas jalan, baik di daerah pemukiman, perkantoran maupun pertokoan. Jauh lebih parah dibanding jalan menuju Tembilahan. Seharian mencoba menjelajahi Tembilahan, kami banyak menemukan sungai dangkal. Sebutan yang saya berikan untuk jalan-jalan rusak parah dan digenangi air hujan yang terperangkap dan tidak dapat mengalir ke drainase di kiri kanan jalan.
Bahkan di salah satu ruas jalan beberapa warga membuat sebuah karya instalasi berupa patung orang yang sedang memancing dan melaksanakan hajat di wc umum yang berada di “sungai dangkal”. Bukan sebuah kondisi yang dapat dibanggakan dan perlu menjadi perhatian pemerintah setempat sebagai layanan kepada warga Tembilahan serta para pengujung.
Terus terang, hal ini membuat saya begitu miris dan pesimis dengan kemampuan kawasan ini untuk maju dengan mengangkat keunikan serta kekayaan budayanya. Untunglah masih sempat merasakan pengalaman menaiki sampan leper di sungai Pekan Arba. Sebuah pengalaman yang jauh dari biasa, unik dan mendebarkan (pakai tersangkut sih).
Pengalaman merasakan keseharian masyarakat mensiasati kondisi alam, tepatnya kondisi sungai yang pada saat surut hanya meninggalkan sedikit jalur air dan bentangan panjang lumpur yang licin serta lengket. Terkagum-kagum pada daya juang dan daya adaptasi masyarakat setempat sehingga aktifitas tetap dapat berjalan selama air surut.
Pengalaman ini cukup memberikan sedikit harapan bahwa masih ada bibit-bibit potensi untuk mengeksplorasi kondisi lingkungan alam oleh masyarakat. Mungkin para pengambil kebijakan dan para pejabat perlu lebih banyak belajar kepada masyarakat, kepada akar rumput tempat mereka dipilih bagaimana menjadikan kawasan ini sebuah Kota yang unggul dengan keunikannya sendiri yang tidak dapat ditiru oleh kota-kota lain.
Akhirnya dengan berbekal hasil hunting belanja di pasar PJ, perjalanan kembali ke kota Pekanbaru, masih dengan rasa bangga pada tanah-tanah di Riau ini.
Ditulis oleh : Dedi Ariandi