Batobo: Pantun Tradisi Ocu Kampar
Batobo: Pantun Tradisi Ocu Kampar |
Batobo: Pantun Tradisi Ocu Kampar
Batobo hakekatnya merupakan sebuah tradisi masyarakat Bangkinang, Kampar dan Teluk Kuantan di Riau. Tradisi ini dibawakan dengan menyanyikan pantun secara bersahut-sahutan ketika mengerjakan ladang atau di sawah di musim menanam dan menuai tiba. Batobo dilakukan oleh generasi muda atau pemuda-pemudi atau orang yang sedang berladang pada waktu itu di ladang. Perubahan zaman dan modernitas menyebabkan tradisi ini tidak lagi ditemukan. Namun para penggiat seni Riau masih menggunakan tradisi ini untuk dibawakan secara fiktif dalam acara-acara kesenian daerah, nasional bahkan internasional.
Batobo populer di tahun 80-an. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, Batobo berasal dari kata "tobo" atau "toboh" artinya kelompok atau sekawan. Selanjutnya ditambah awal ‘ba’ menjadi batobo atau bertoboh-toboh artinya berkelompok-kelompok atau beregu-regu atau berkawan-kawan. Sehingga kemudian secara bebas Batobo ala Riau ini disebut juga dengan bergotong royong. Yakni mengerjakan ladang atau tanah pertanian secara bersama-sama atau berkawan-kawan secara bergiliran sesuai dengan anggota tobo. Oleh karena itu, di Riau, batobo dikenal juga sebagai persatuan atau organisasi tani.
Jika dilihat dari pertunjukkan yang ditampilkan batobo adalah wujud kegembiraan ketika musim berladang tiba. Di mana para pemuda dan pemudi saling berbalas pantun dengan cara yang khas. Riwayat lain juga menyatakan kalau batobo merupakan wujud para pengolah lahan untuk menghilangkan rasa sepi dan lelah ketika berladang.
Batobo Pantun Tradisi Ocu Kampar
Ada beberapa jenis batobo, pertama, batobo yang ‘hanya’ dilakukan oleh kaum wanita. Ini merupakan awal pertama batobo dikenal dalam masyarakat. Pada zaman itu, kaum pria umumnya hidup tidak menetap di kampung atau pergi merantau, sehingga untuk kegiatan atau urusan pertanian sepenuhnya dilaksanakan oleh kaum perempuan. Tobo jenis ini disebut dengan tobo induok-induok atau tobo induk-induk (tobo ibu-ibu). Kedua, tidak terlepas dari perkembangan zaman, para bujang atau pemuda mulai membantu mengelola lahan. Hingga kemudian muncullah tobo bujang yang beranggotakan laki-laki. Ketiga, batobo jenis campuran. Jenis merupakan perkembangan yang lebih maju karena adanya tobo bujang gadih (pemuda-pemudi) yang anggotanya terdiri dari pria dan wanita, baik yang sudah menikah ataupun belum. Di sini berarti para pria dan wanita yang belum menikah. Karena tradisi di Kampar dan Taluak Kuantan menyebut induok-induok (ibu-ibu) sebagai perempuan yang sudah menikah. Meskipun kemudian perubahan makna menjadi lebih luas sehingga induok-induok di definisikan sebagai wanita.
Sebagai sebuah kelompok maka batobo umumnya dipimpin oleh tuo tobo (ketua tobo/kelompok) dengan anggota (anak tobo) berkisar antara 20-40 orang. Kegiatan batobo dibagi dalam beberapa bagian, yaitu ‘menyemulo’, yaitu saat mencangkul lahan pertama kali. Kemudian ‘membalik tanah’ atau mencangkul lahan untuk kedua kalinya. Selanjutnya disebut ‘melunyah’ yaitu menginjak-injak lahan dengan kaki (kegiatan ini khusus untuk sawah). Setelah itu ‘menanam benih’. Dan terakhir tahap memanen.
Berikut ini penulis temukan satu contoh pantun batobo yang dinyanyikan dengan khas ala masyarakat melayu Kampar dan Teluk Kuantan, Riau:
intan-intan Pulau Anggoda***
toluak siantan solok aghu
acu santan odiak simpola
mano kan omuo bacampu bawu
(intan-intan Pulau Anggoda
teluak Siantan Solok Aghu
kakak santan adik ampasnya
tidaklah mungkin akan bersatu)