Lingga di Penghujung 2011 - Matahari belum tiba
Griven H. Putera
Lingga di Penghujung 2011
Lingga di Penghujung 2011
Matahari belum tiba. Rumah penduduk di sela-sela pohonan masih berselimut kabut. Di samping surau, bermunggak-munggak nisan terpaku menunjuk langit. Sewujud-wujud mata memandang, kumpulan awan seperti kapuk-kapuk berarak dari kaki menuju pucuk gunung amat pelan. Di kaki gunung, beberapa ekor bangau berkeliaran di bekas ladang padi yang tersisa. Seekor ayam betina hitam berlari jauh sambil berkotek-kotek dari sapi jantan kuning yang mengibas-ngibaskan ekornya.
Dua orang lelaki duduk di teras atas penginapan. Seorang kurus jangkung berkulit terang, berbaju putih dan bercelana pendek menatap gunung dengan dua tangan mendekap dada. Lelaki itu ingin mencari ‘engel’ yang paling sempurna untuk mengabadikan keindahan pagi itu di kamera nikonnya. Seorang lagi sibuk memainkan tuts laptop. Sambil sesekali matanya berkilat menangkap setiap gerakan di depannya. Itulah aktivitas dua orang peserta “lawatan Sejarah” sempena “Lingga Bunda Tanah Melayu” di Daik Lingga sebelum acara seminar dimulai hari itu.
“Bangsa Melayu adalah bangsa yang dizalimi oleh penjajah, seperti Inggris di Malaysia dan Belanda di Indonesia. Akibat penjajahan itu, negeri Melayu terkoyak-moyak. Mereka memutuskan selat, sungai dan muara. Lalu sejarah duka itu menyebabkan kita terpisah dengan nama Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Selatan Thai. Kegiatan ini merekatkan kembali kemesraan kita sebagai resam anak Melayu yang berumpun satu,” kata Shamsuddin Othman [pensyarah pada Universitan Putra Malaysia] memulai bentangan kertas kerjanya pagi itu.
Sementara itu, Wahyu Hidayat, tenaga pengajar pada STAI Sulthan Muhammad Syafiuddin, Sambas, menyarankan kepada pemerintah Lingga, agar terwujudnya Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu mesti melakukan rencana-rencana kerja, seperti percepatan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan berbasis khazanah kebudayaan lokal. Selanjutnya membangun balai kajian sejarah dan budaya Melayu dalam menggali dan membentuk ruang-ruang intelektual. Selain itu, pemerintah juga mesti melakukan percepatan pembangunan infrastruktur berbasis wisata budaya maritim serta melakukan sejumlah kegiatan seni budaya maritim dunia.
Sementara itu, Dr. Restu Gunawan, Kasubdit Peradaban sejarah, Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menjelaskan, “Selama sekian waktu, Lingga hampir hilang dalam peta. Terutama ditelan oleh kebesaran saudara-saudaranya sendiri, seperti Penyengat, Batam, Johor dan Singapura. Padahal, sesungguhnya sejarah Lingga di masa lalu jauh lebih besar daripada negeri-negeri yang lain itu. Setelah era otonomi daerah bergulir, kinilah saatnya mengembalikan kegemilangan peradaban yang pernah diraihnya di masa lampau itu. Penguasaan dunia bahari di kawasan Lingga-Johor-Riau sudah tiba waktunya untuk dikembalikan. Dalam bidang kebudayaan, Lingga harus mampu menghasilkan makna simbolik bagi kawasan regional maupun provinsi. Keberhasilan pengungkapan ‘Bunda Tanah Melayu’ merupakan salah-satu hasil yang cukup baik. Tapi jangan sampai di situ saja, ia harus dimanifestasikan melalui rekonstruksi kerajaan Lingga, maupun pembangunan museum yang tidak hanya menyimpan artefak sejarah tetapi juga memburu naskah-naskah kuno harus dilakukan, baik di arsip nasional Jakarta mau pun di negeri Belanda. Dan tak kurang pentingnya dari semua kerja di atas, pengajuan tokoh Lingga menjadi Pahlawan nasional perlu dilakukan secepatnya.”
Diskusi akhirnya khatam. Kafilah kebudayaan Melayu di Asia Tenggara itu pun santap siang lima sejambar, menikmati makanan Melayu khas Daik Lingga di bawah tudung saji [tudung manto dalam bahasa Lingga].
Usai mengambil air sembahyang di telaga pemandian putri yang airnya jernih bak akuarium, beberapa orang kafilah kebudayaan Melayu melakukan ekspedisi di sungai Resun yang tepinya ditumbuhi pokok bakau dan aneka kayu-kayan yang masih perawan. Menaiki perahu boat sambil dibentengi gunung Daik yang tampil lembut dan memesona.
Kira pukul tiga petang, kafilah peradaban Melayu tiba di sebuah danau yang terletak di bibir laut. [Pancur Lagoon]. Di tepi bukit kecil yang ditumbuhi ilalang, berhadapan danau dan Gunung Daik yang menjulang, tampak berderet rumah-rumah panggung papan. Kampung kecil di tepi danau itu dihuni etnis Melayu dan Tionghoa yang hidup berdampingan saling damai.
Perahu dayung hilir mudik ke tengah ke tepi tanpa jeda. Motor boat pun keluar masuk mulut sungai Resun seperti tanpa jeda. Masyarakat berkeliaran di pelantar rumah, pelantar yang juga menjadi lebuh raya, jalan silaturrahmi antar warga.
Tak mau ketinggalan ingin menikmati masakan Pancur, kafilah pun minum kopi, santap mi tiaw dan meratah goreng pisang petang itu sambil menyaksikan perahu yang di dayung kaum hawa ke sana kemari di antara jembatan-jembatan kecil yang tersergam di antara rumah-rumah penduduk.
Matahari mulai lelah. Merah malap. Sesaat lagi ia akan rebah di pelukan gunung. Kafilah budaya tak mau cepat pulang ke kota Daik. Ingin menyaksikan betapa manjanya matahari petang menjelang senja itu dari puncak sebuah hotel yang terjungul di tepi danau. Sayang, awan tak mau bersahabat. Sampai hari gutub, dan menjadi gelap semuanya, gemawan tak mau bingkas menyelimuti gunung Daik. Semakin lama gunung legenda itu dipeluknya semakin erat dan rapat. Sepertinya, petang itu awan tak mau berbagi kasih dengan manusia. Ia seperti tak ridha kalau kegagahan Gunung Daik dan kemanjaan matahari saat itu ditangkap, dijepret kamera dan dinikmati para seniman budayawan yang datang dari berbilang negeri. Saat itu, manusia betul-betul kalah dari alam! Betul-betul kalah! Sungguh! Hue hue hue…
Pancur Lagoon Poetry Reading
Ditulis oleh :
Griven H. Putera