Mulut Manusia
Hanya sebuah rongga, lubang. Dia satu, tapi macam seribu. Mengalahkan mata yang dua, telinga yang dua. Sebelum orang berkata melalui mulut, dia harus melihat dengan dua mata dan mendengar dengan dua telinga. Tapi dua instansi [mata dan telinga] kalah laju dengan mulut yang satu. Dan manusia modern memfestivalkan mulut itu menjadi sesuatu yang yang serba lebih. Menipu dengan mulut, berkelit dari kesalahan cukup dengan mulut, membangun mimpi besar untuk mengentas kemiskinan rakyat, bagi seorang pemimpin cukup menggunakan mulut. Ketika menjual ‘barang dagangan politik’ masa kampanye, mulut berbuih-buih. Rekan seperjalanan mulut itu, dibantu dengan kehadiran microphone, sound system. Maka jadilah, mereka yang mampu merebut mike, microphone atau pengeras suara, dan apa-apa yang keluar dari mulut mereka, seolah-olah kebenaran itu sendiri.
Ketika pemimpinnya besar bual dan pembengak, maka rakyatnya yang menjahit mulut. Karena tak ada gunanya memfestivalkan bunyi mulut yang bau, yang busuk namun direnjis melalui segala pengharum, padahal substansinya adalah busuk. Para pemimpin negeri ini sejatinya bermulut besar, pembual dan busuk. Rakyat yang sudah letih dan letoi dengan segala bunyi itu, lebih elok melakukan tutup mulut. Maka sejak tiga bulan terakhir kita dikejutkan oleh sejumlah orang yang mengambil keputusan di luar akal sehat arus perdana. Dan mereka berkemah di depan [kononnya] ‘rumah rakyat’. Tak selesai pada tangga ini, mereka memanjat jenjang yang lebih tinggi. Mereka juga berkemah, membawa mulut yang tersimpai oleh jahitan sekenanya. Mereka menyuarakan sesuatu melalui ‘nir suara’. Media massa menyerbu dan membentuk semacam agenda setting. Rakyat dan pejabat yang sehari-hari besar bual di kampung sendiri, terkejut. Peneraju adat yang ke mana-mana menjinjing simpai moral dan nilai resam, terdiam kaku dan membisu. Kenapa?
Mulut itu hanya selonsong rongga. Tempat segala ihwal bermula. Adam terpelanting ke muka bumi, tersebab tak bisa menjaga mulut. Pertarungan berdarah pertama anak manusia [Habil dan Qabil] juga karena persoalan mulut. Maka sejumlah peristiwa besar di dunia ini berawal dan berakhir karena medan mulut. Perang dimulai, karena ada mulut-mulut yang menyulut kesumat. Dan perang berhenti, karena sejumlah mulut melakukan diplomasi dan perjanjian damai untuk menjinakkan nafsu hewaniah secara sesaat. Nafsu berkuasa, adalah naluri purba yang setara dengan instink hewaniah itu. Instink hewaniah yang melekat pada hewan di belantara raya, bertarung dalam sergahan dan auman bunyi yang keluar dari batang rongga bernama mulut. Singa, harimau, gajah, kuda, dingo, kerbau, elang sampai ayam, mengeluarkan suara menggerunkan bagi lawan atau mangsanya. Sebelum pertarungan fisik, maka terjadi pertarungan bebunyian, menggunakan kekuatan ‘trompet’ mulut.
Mereka yang menebar bunyi dan suara dari podium ke podium, dari mimbar ke mimbar, panggung ke panggung, dari pentas ke pentas, atau dari majelis ke majelis, ialah sederet bebunyian yang berhajat menakluk dan mengelak, sekaligus membuat persimpangan baru. Persimpangan yang menjebak dan menyesatkan. Auman, lengkingan dan ceracau yang keluar dari mulut para pemimpin yang bau, yang dingin dan busuk, tak lebih dari sebuah bual besar, yang tak memberi faedah apapun bagi orang ramai. Dia hanya menjadi pembenar segala kesalahan dan kebodohan yang dibangunnya selama ini. Untuk itu rakyat tak sudi diajak dialog lewat bunyi. Dan mereka, secara mengejutkan mengunci dan menyimpai rongga mulut, untuk menjauh dari segala bohong dan bengak, terutama bual yang besar…. Hehehe.
Yusmar Yusuf
[Budayawan]