Masjid Penyengat, Mesjid Sultan Riau - Mesjid Pulau Para Raja
Pulau Penyengat Inderasakti atau lebih dikenal Pulau Penyengat merupakan sebuah pulau kecil berukuran kurang lebih 2.500 x 750 meter yang berjarak kurang lebih sekitar 3 km dari Kota Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pulau wisata ini dan berjarak lebih kurang 35 km dari Pulau Batam dapat dicapai dengan menggunakan perahu bot atau lebih dikenal bot pompong, lebih kurang sekitar 15 menit dari Tanjung Pinang.
Mobilitas penduduk dari dan menuju ke Pulau Penyengat sebagai pulau wisata cukup ramai, hal ini mengingat mayoritas warga Pulau Penyengat bekerja di Tanjung Pinang. Mereka berangkat pada saat pagi menuju Tanjung Pinang dan kembali lagi ke Pulau Penyengat pada sore hari. Arus kunjungan menuju ke Pulau Penyengat pada pagi hari biasanya lebih didominasi oleh para wisatawan yang ingin menyaksikan sejarah peninggalan dari Kesultan Melayu Riau yang ada di pulau tersebut.
Pulau Penyengat merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Kepulauan Riau dimana objek-objek wisatanya tersebar di pulau kecil ini. Beberapa objek wisata terkenal bisa kita liat di Pulau Penyengat antara lain adalah Mesjid Raya Sultan Riau atau Mesjid Penyengat yang bangunannya terbuat dari campuran putih telur, benteng pertahanan di Bukit Kursi, makam-makam para raja serta makam dari pahlawan nasional bernama Raja Ali Haji serta kompleks Istana Kantor dan lainnya. Dengan kekayaan objek wisata khususnya Wisata Sejarah yang ada di dalamnya, maka Pulau penyengat dan komplek istana di Pulau Penyengat tersebut telah dicalonkan ke UNESCO untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.
Pesona Wisata Masjid Penyengat, Mesjid Pulau Para Raja
Sejarah Pulau Penyengat sebagai pulau yang kaya dengan peninggalan sejarah Melayu diawali pada abad ke-18, yakni pada saat Sultan Riau-Lingga membangun sebuah bangunan benteng di Pulau Penyengat. Benteng tersebut tepatnya berada di kawasan Bukit Kursi, disana ditempatkanlah beberapa buah meriam sebagai basis pertahanan Bintan. Sultan-sultan berikutnya kemudian memerintah seluruh Kepulauan Riau dari Pulau Penyengat tersebut.Sejarah Mesjid Penyengat yang berukuran 29,3 x 19,5 meter ini dibangun sekitar tahun 1761-1812 berupa bangunan sederhana dengan berlantai batu dan berdinding kayu serta menara dengan tinggi sekitar 6 meter. Kemudian Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844 berinisiatif untuk mengembangkan mesjid ini menjadi lebih besar dimana kejadian ini pada 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 Masehi).
Masjid Penyengat merupakan masjid yang menjadi saksi kebesaran dari Kesultanan RiauMesjid Putih Telur ini sebagai peninggalan Sultan Mahmud yang dibangun pada tahun 1803 dan rampung pada tahun 1844 M. Hampir dua abad lamanya setelah pembangunan, masjid tersebut masih terus berdiri kokoh. Konon karena putih telur yang digunakan sebagai perekat material bangunanlah yang telah membuat masjid ini tetap kokoh berdiri hingga saat ini.
Saat ini, warna bangunan dicat dengan menggunakan warna kuning sebagai warna kebesaran dari bangsa Melayu. Warna tersebut menutupi hampir seluruh bagian luar hingga ke bagian dalam bangunan masjid. Diselingi dengan warna hijau di beberapa ornamen untuk keindahan. Pada sisi kiri gerbang mesjid berdiri sebuah perpustakaan sebagai tempat menyimpan Kitab Suci Al-Quran dari mulai abad ke-17 dan beberapa buah kitab kuno. Pada empat bagian sisi masjid juga terdapat menara tinggi menjulang yang berwarna kuning.
Salah satu keistimewaan mesjid berwarna kuning ini adalah dipajangnya mushaf Al-Qur'an tulisan tangan oleh Abdurrahman Stambul, putera Riau asli pulau Penyengat yang diutus oleh Sultan untuk belajar di Turki pada tahun 1867 M. Selain itu ada juga mushaf Al-Qur'an tulisan tangan yang disimpan karena usianya lebih tua dari dipajang tersebut yang ditulis oleh Abdullah Al Bugisi pada tahun 1752 M. Mushaf ini dilengkapi dengan tafsiran-tafsiran dari ayat Al-Qur'an yang tidak diketahui siapa penulisnya. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab lain yang tidak dipertunjukkan kepada pengunjung.
Keistimewaan lain adalah mimbar di dalam mesjid di pulau para raja ini yang terbuat dari kayu jati yang dipesan khusus dahulunya dari Jepara Jawa. Mimbar ini lebih besar daripada mimbar yang berada di Mesjid Sultan Lingga di Daik yang dipesan secara bersamaan. Disamping mimbar terdapat piring berisi pasir yang konon dibawa dari pasir tanah Makkah al-Mukarramah bersama benda-benda lain dari tanah Arab. Pasir Mekah ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, yang merupakan bangsawan Riau-Lingga pertama yang menunaikan ibadah haji ke tanah Mekah pada tahun 1820 M.
Lampu kristal mesjid putih telur (ada beberapa masyarakat menyebut hal demikian untuk Mesjid Pulau Penyengat ini) berasal dari hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an. Hal ini menambah keindahan di dalam mesjid.
Mesjid pertama yang tercatat memakai kubah di Indonesia ini berada dalam kompleks mesjid dengan luas areal 54,4 x 32,2 meter. Bangunan mesjid memiliki 6 jendela besar, 7 pintu dilengkapi, 13 kubah dan 4 menara beratap hijau berdinding kuning setinggi 18,9 meter. Dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang di bagian depan dan kuburan di bagian belakangnya serta tempat wudhu di bagian kiri dan kanannya. Bangunan penunjang ini berupa 2 buah bangunan rumah sotoh dan 2 buah balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.
Dahulunya salah satu menara yang terdapat disamping mesjid ini digunakan sebagai tempat bilal mengumandangkan azan. Namun seiring dengan kemajuan tekhnologi yang terus berkembang, kini bilal tak perlu lagi naik ke menara untuk mengumandangkan azan.
Balai-balai digunakan untuk menunggu waktu shalat dan kadang digunakan untuk tempat istirahat atau berkesenian. Rumah Sotoh dahulunya digunakan untuk belajar menimba segala ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama. Tercatat 4 ulama terkenal di Riau-Lingga pernah mengajar di mesjid ini seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Ismail, Syekh Arsyad Banjar, dan Haji Shahabuddin.
Selain komplek Masjid Penyengat atau Mesjid Raya Sultan Riau atau Mesjid Pulau Para Raja atau Mesjid Putih Telur, terdapat pula komplek makam Raja Abdurrahman merupakan Raja Riau VII yang mangkat pada tahun 1844 M. Komplek makam dipagari dengan menggunakan bata yang sudah disemen yang pada bagian pintu masuk makam terdapat gapura dengan bentuk melengkung. Raja Abdurrahman atau Raja Abdurrahman Marhum Kampung Bulang Yamtuan Riau VII yang dimakamkan dikomplek tersebut pada masa pemerintahannya sangat berjasa menjadikan Pulau Penyengat tersebut sebagai pusat syiar agama Islam. Raja Abdurrahman telah mengundang para ulama yang berasal dari Timur Tengah untuk datang ke Pulau Penyengat. Di era pemerintahannya pulalah lahir karya-karya dari penyair seperti Raja Haji Ahmad Ibn Raja Haji Fisabilillah dan Bilal Abu.
Sebagian gambar Mesjid Penyengat dari Dinas Pariwisata Kepulauan Riau.