Sejarah Berdirinya Museum Daerah Riau Sang Nila Utama Pekanbaru
Eksistensi suatu suku bangsa terlihat dari warisan budaya yang ditinggalkannya dan mempunyai nilai bagi pengembangan sejarah dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Tidak terkecuali di Provinsi Riau yang dalam perjalanan sejarahnya penuh dengan berbagai hasil seni yang lahir dari aktifitas dan kreatifitas masyarakat Melayu Riau yang sebagiannya tersimpan dalam Museum Daerah Riau. Museum sebagai suatu wadah yang menyimpan berbagai koleksi warisan budaya diharapkan dapat menampilkan wajah budaya daerah Riau dan juga merupakan juga gerbang utama untuk mengenal lebih dalam khazanah budaya daerah Riau yang kita miliki.
Museum Sang Nila Utama
Museum Daerah yang kita kenal sekarang ini pada awal berdirinya dikenal dengan nama Museum Negeri Provinsi Riau. Pendirian ini dilatar-belakangi Museum ini merupakan salah satu usaha pemerintah pusat di bidang kebudayaan dengan kebijakan saat itu agar setiap Provinsi mendirikan Museum Negeri.
Pada sisi lain seperti yang kita ketahui bersama bahwa daerah Riau memiliki kekayaan akan aneka ragam budaya. Berdasarkan data sejarah tersebut bahwa daerah Riau pernah menjadi pusat kebudayaan Melayu yang pada masanya berada dipuncak kejayaan, sebagaimana sebuah kerajaan besar. Dengan demikian dapat dipastikan daerah ini banyak memiliki benda-benda pembuktian material yang merupakan hasil sejarah budaya manusia serta alam dan lingkungannya yang sangat penting dilestarikan dan divisualisasikan dalam sebuah museum.
Pada tahun 1975, seiring dengan perubahan instansi Perwakilan-perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau, dimulailah upaya perintisan untuk mendirikan sebuah museum di Provinsi Riau. Pertama-tama dibentuklah Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan, upaya ini dimulai degan mengumpulkan benda-benda (koleksi) peninggalan sejarah dan budaya.
Pembinaan permuseuman terus berlanjut dan beberapa waktu kemudian dimulailah perencanaan pembangunan Gedung Museum melalui dana APBN Tahun Anggaran 1977/1978 yang diawali dengan pembebasan lahan tanah seluas 16.930 m2 di Jl. Jend. Sudirman Pekanbaru. Kemudian secara bertahap yaitu Tahun 1979/1980 dan 1981/1982 dibangun gedung perkantoran yang terdiri dari beberapa ruangan. Pembangunan selanjutnya diteruskan pada Tahun Anggaran 1984/1985 dan 1985/1986 dengan dibangunnya gedung untuk memenuhi kebutuhan ruangan pameran benda koleksi yang tetap dan disebut Gedung Pameran Tetap.
Setelah sarana dan prasarana baik fisik maupun nonfisik dianggap cukup memadai maka ditetapkanlah sebagai Museum Negeri Provinsi Riau dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 001/0/1991 tanggal 09 Januari 1991. Pada saat itu Kepala Museum masih dirangkap oleh Kepala Permuseuman Bidang Permuseuman Sejarah dan Purbakala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau dan sekaligus sebagai Pelaksana Tugas Harian. Pada Tahun Anggaran 1993/1994 dibangunlah Auditorium.
Kemudian setelah itu barulah diangkat Kepala Museum yang definitif dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Prof. DR. Edi Sedyawati pada tanggal 09 Juli 1994. Pengangkatan ini bersempena dengan Pembukaan Pameran Bersama Museum Negeri se-Sumatera dan sekaligus dalam rangka turut berperan serta dalam acara Pembukaan Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Nasional ke 17 di Pekanbaru.
Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini adanya pengalihan kewenangan beberapa bidang urusan Pemerintahan Pusat yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah, termasuk salah satunya yaitu Bidang Kebudayaan yang mana didalamnya mengenai Pembinaan Permuseuman, maka kemudian Pemerintah Provinsi Riau melalui Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 17 Tahun 2001 maka Museum Negeri Provinsi Riau diganti nama menjadi Museum Daerah Riau "Sang Nila Utama" yang berada dibawah Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau.
PEMBERIAN NAMA SANG NILA UTAMA
Sang Nila Utama adalah nama yang diberikan kepada seseorang yang berasal dari nama seorang Raja Bintan yang pernah berkuasa sekitar abad ke-XIII masehi di Pulau Bintan. Museum ini pada awalnya belum diberi nama, atas inisiatif Kepala Museum waktu itu menunjuk beberapa budayawan Riau sebagai Tim Diskusi dengan Surat Keputusan tanggal 13 Oktober 1993 Nomor 227/109.09/MR/C-93 dimana tim tersebut bertugas mengusulkan beberapa nama yang termashyur di Riau untuk dijadikan nama museum ini.
Diskusi dan perdebatan nama Museum Negeri Provinsi Riau ini diawali dengan dibentuknya tim tersebut yang terdiri dari :
- Muhammad Daud Kadir
- Ridwan Malay
- MA Effendi
- Tenas Effendi
- Muhaidin Said
- Prof. DR. Samsir Marzuki
- Prof. DR. Tabrani Rab
Diskusi atas pemberian nama Museum Negeri Provinsi Riau sebanyak empat kali. Pertemuan-pertemuan yang membahas calon-calon nama yang cocok untuk Museum Negeri Provinsi Riau. Terdapat 10 (sepuluh) nama yang diajukan oleh Tim yaitu :
- Mercu Alam
- Tun Sri Lanang
- Sang Nila Utama
- Raja Kecil
- Raja Ali Haji
- Tuanku Tambusai
- Nara Singa
- Sultan Abdullah Ma'yat Syah, Marhum Tambelan
- Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil, Marhum Pekan
- Raja Haji
Dari 10 (sepuluh) calon nama yang diusulkan oleh tim diskusi tersebut, lalu diteruskan ke Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau untuk menyeleksinya. Dari hasil seleksi Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau terjaringlah 3 (tiga) nama diantaranya :
- Sang Nila Utama
- Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil, Marhum Pekan
- Raja Ali Haji
Dari ketiga nama yang sudah diseleksi dari Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau kemudian diteruskan lagi kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Riau untuk memilih nama yang tepat dan diabadikan menjadi nama Museum Negeri Provinsi Riau. Setelah melalui beberapa proses akhirnya Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Riau memilih SANG NILA UTAMA sebagai nama museum sehingga lengkapnya menjadi Museum Negeri Provinsi Riau Sang Nila Utama.
Menurut data sejarah, daerah Riau dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya antara abad ke-7 sampai abad ke-12 masehi. Pada masa puncak kejayaannya, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat pengajaran agama Budha di Asia Tenggara. Keadaan seperti itu berlangsung sampai datang serangan dari Kerajaan Singosari sekitar tahun 1272 pada daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berangsur mulai pudar.
Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat serangkaian invasi tersebut, banyak para bangsawan kerajaan keturunan Dinasti Sailendra dari Kerajaan Sriwijaya tersebut meninggalkan daerahnya yang bertujuan untuk menghidupkan kembali kebebasan tahta leluhur mereka dengan mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Salah satunya adalah Sang Sapurba, yang meninggalkan Palembang (daerah Sriwijaya) dengan diiringi oleh Mangkubumi yang tidak lain adalah mertuanya sendiri yaitu Demang Lebar Daun dan putranya Sang Nila Utama.
Rombongan mereka ini meninggalkan daerah asalnya dengan menggunakan sebuah perahu atau lancang berwarna kuning menuju ke bekas daerah taklukan Sriwijaya yang telah melepaskan diri yaitu Kerajaan Bintan. Konon, di Pulau Bintan ini bertahta seorang ratu yakni Ratu Sri Bintan yang telah menjanda dan mempunyai seorang putri Wan Sri Beni.
Dengan berpedomankan Gunung Daik bercabang tiga, yakni suatu selat yang bernama Selat Sambu hingga sampailah rombongan Sang Sapurba di Kerajaan Bintan. Kedatangan perahu kerajaan tersebut diketahui oleh para penjaga perairan yang kemudian segera menyampaikan berita tersebut kepada Ratu Sri Bintan.
Kemudian Ratu Sri Bintan memerintahkan kepada 2 (dua) orang hulubalangnya yaitu Indra Bupala dan Aria Bupala untuk mengadakan penyambutan di Tanjung Rengas dan membawa rombongan Sang Sapurba ke Istana Bintan. Sesampainya di istana, mereka disambut dengan meriah oleh Ratu Sri Bintan bersama putrinya Wan Sri Beni dan para pembesar kerajaan lainnya. Selama berkunjung di Bintan rombongan Sang Sapurba ini diberi pelayanan yang baik sebagaimana tamu agung.
Hingga beberapa waktu berselang, putra Sang Sapurba yang bernama Sang Nila Utama jatuh hati kepada putri Wan Sri Beni. Ayah Sang Nila Utama demi mengetahui hal tersebut dengan segera menyampaikan maksud putranya untuk meminang Putri Wan Sri Beni kepada Ratu Sri Bintan. Kemudian setelah diadakan perundingan kedua belah pihak, akhirnya pinangan tersebut diterima oleh Ratu Sri Bintan dan selanjutnya dilaksanakan pernikahan Putri Wan Sri Beni dengan Sang Nila Utama.
Perhelatan pernikahan telah usai, Sang Sapurba bermaksud meneruskan perjalanannya, tapi sebelum keberangkatannya, Sang Sapurba menyerahkan sebuah mahkota dan dengan persetujuan Ratu Sri Bintan ketika itu dinobatkanlah Sang Nila Utama menjadi Raja Bintan dan berkedudukan di Pulau Bintan. Keberangkatan Sang Sapurba dilepaskan dengan upacara kerajaan hingga ke laut perbatasan. Adapun setelah dinobatkan sebagai Raja Bintan, Sang Nila Utama dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaannya dengan penuh arif bijaksana dan berkeadilan.
Hal itulah yang membuat nama Sang Nila Utama menjadi sangat termashyur.
Ayo Ke Museum
Sejarah Berdirinya Museum Daerah Riau Sang Nila Utama Pekanbaru
Sumber :
Buku Panduan Museum Daerah Riau
"SANG NILA UTAMA"
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
UPT. Museum Daerah dan Taman Budaya
Provinsi Riau
Tahun 2016
Jl. Jend. Sudirman no. 194
Telp. 0761-33466
Pekanbaru
Riau
Sumber foto :
Sebagian dari video yang kami sematkan di bawah ini.
Museum Daerah Sang Nila Utama berisikan koleksi berdasarkan kategori :
Geoligika - benda koleksi disiplin ilmu geologi (fosil, batuan, mineral, dan benda bentukan alam lainnya, seperti andesit dan granit)
Biologika - benda koleksi disiplin ilmu biologi (rangka manusia, tengkorak, hewan, dan tumbuhan baik fosil ataupun bukan).
Etnografika - benda koleksi budaya disiplin ilmu antropologi yang merupakan hasil budaya atau identitas suatu etnis.
Arkeologika - benda koleksi yang merupakan peninggalan budaya sejak masa prasejarah sampai masuk penagaruh barat.
Historika - benda koleksi yang memiliki nilai sejarah dan menjadi objek penelitian sejak masuknya pengaruh barat hingga sekarang (negara, tokoh, kelompok, dan sejenisnya).
Numismatika (telaah tentang pengumpulan mata uang atau tanda jasa (medali dan sebagainya) dan Heraldika (lambang, tanda jasa dan tanda pangkat resmi (cap atau stempel)
Filologika - benda koleksi disiplin filologi (naskah kuno tulisan tangan yang mendeskripsikan suatu peristiwa).
Keramonologika - benda koleksi barang pecah belah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar.
Seni rupa - benda koleksi yang mengekspresikan pengalaman artistik manusia melalui karya sua atau tiga dimensi.
Teknologika - setiap benda atau kumpulan benda yang menunjukkan perkembangan teknologika tradisional hingga modern.
Sekarang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah dipecah menjadi 2 (dua) dinas yaitu Dinas Pendidikan Provinsi Riau dan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Riau tanggal 4 November 2016
CATATAN TAMBAHAN :
Dalam buku Sulalatus Salatin, Sang Nila Utama disebutkan sebagai putra kerajaan dari pasangan Sang Sapurba dengan Wan Sundaria (anak dari Demang Lebar Daun, penguasa Palembang). Ia menikah dengan Wan Sri Bini (Beni), dan awal menjadi raja di Bintan sebelum pindah ke Singapura.
Sang Nila Utama bergelar Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Raja Agung Penguasa 3 Dunia atau Central Lord King of the Three Worlds) mendirikan kota Singapura (Kota Singa) pada tahun 1299. Nama Singapura berdasarkan temuan hewan mirip Singa dengan tubuh merah, kepala hitam dan dada yang putih serta bergerak sangat cepat ketika Sang Nila Utama berburu rusa di sebuah pulau.
Dari pulau tersebut, Sang Nila Utama melihat ke arah Pulau Temasek dan menuju ke arah pulau tersebut. Di Pulau Temasek itu nampaklah olehnya hewan mirip singa. Karena ia menilai ini adalah pertanda baik, maka Sang Nila Utama memutuskan untuk membangun sebuah kota di Pulau Temasek (dahulunya disebut Pulau Ujung) tersebut dan diberi nama Singapura. Walaupun diketahui bahwa tidak pernah ada Singa di kawasan asia, kemungkinan yang dilihatnya adalah harimau malay atau Malayan Tiger.
Sang Nila Utama meninggal tahun 1347 dan digantikan oleh putranya bernama Paduka Seri Wikrama Wira.
Sang Nila Utama yang bergelar Raja Agung Penguasa 3 Dunia yaitu Dunia Surga Para Dewa, Dunia Manusia dan Dunia Alam Gaib.
The Legend
[ RiauMagz | Wisata Riau | Wisata Sejarah ]