Pusaka Kota Pekanbaru: Salah Kaprah, Salah Urus
PUSAKA KOTA PEKANBARU : SALAH KAPRAH, SALAH URUS
Dedi Ariandi
Jangan lagi rusak dan hilangkan nilai-nilai sejarah dari sekian banyak peninggalan sejarah Kota Pekanbaru yang tersisa.
PEKANBARU-RIAU. Negeri dengan semangat ingin sejajar dengan kota-kota besar dunia. Ingin punya semua yang ada di kota besar lain. Sebuah semangat yang bagus jika juga dilandasi dengan pengetahuan, pemahaman dan kecintaan pada peninggalan-peninggalan yang menjadi bukti muncul dan berkembangnya kota ini.
Tak ada kota yang besar tanpa dimulai dari pembukaan lahan, tanpa rumah pertama, tanpa penghuni pertama, tanpa tapak peradaban pertama. Las Vegas yang bertaburan gemerlap lampu dibangun di sebuah padang pasir dengan diawali satu buah kasino. Bahkan, kota judi terbesar di dunia ini pun memiliki tapak sejarah yang jelas, yang masih bisa ditelusuri hingga saat ini.
Apakah Pekanbaru akan menjadi sebuah kota yang kehilangan akar sejarah? Kehilangan tapak-tapak awal hidupnya pemukiman di bantaran Sungai Jantan? Atau ditandai dengan tapak-tapak sejarah yang rusak, salah urus, korban proyek dan akhirnya sulit untuk ditelusuri sebagai sebuah kebanggaan kota dan warga kota? Penghapusan, perusakan dan pembinasaan tapak sejarah menjadi tren yang semakin berkembang dalam pembangunan kota ini.
Hanya dalam kurun satu dekade terakhir, sudah begitu banyak tapak-tapak sejarah perkembangan kota yang dihilangkan, dirusak dan diubah tanpa ada perlindungan yang memadai dari pemerintah dan warga kota. Pertokoan Pasar Pusat, Bioskop Latifa, Kantor Pos pertama di Jalan Sudirman, Balai Dang Merdu, Masjid Raya, bangunan ruko deret di Jalan Air Hitam di kawasan Senapelan dan beberapa pasar tradisional di kota ini sudah tinggal cerita masa lalu.
Mereka dikalahkan oleh berbagai macam kepentingan dan kebutaan akan pentingnya bukti sejarah bagi kota yang akan besar. Seakan-akan tak ada lagi lahan yang lebih pantas untuk menunjukkan ke-”baru”-an kota ini. Seakan-akan semua tapak sejarah itu hanya barang lama yang tak punya cerita, tak ada orang-orang hebat dibelakangnya, tak ada kontribusi bagi perkembangan kota ini.
Begitu kasar dan semena-menanya pengurusan benda-benda yang menjadi tapak sejarah kota bahkan pusaka bagi kota ini, tak lebih karena begitu parahnya pola pikir yang berkembang, baik di kalangan pengambil keputusan, konsultan perencana, kontraktor bahkan warga kota. Begitu minimnya pemahaman dan kecintaan pada kekayaan diri sendiri akibat silau mata melihat apa yang dimiliki orang (dalam hal ini kota) lain, memperparah perilaku yang berkembang sehingga terjadi salah kaprah akan pusaka yang berujung pada salah urus.
Bahkan ada beberapa bangunan yang mendapat anggaran sekitar tahun 2002 silam dikerjakan secara serampangan, tanpa standar baku pekerjaan untuk benda-benda tua. Hasilnya adalah kerusakan. Padahal, akan lebih panjang usia rumah-rumah tersebut tanpa ada pekerjaan renovasi seperti yang telah dilakukan.
Sekadar nostalgiakah jika usaha-usaha untuk mempertahankan “barang-barang tua” yang telah “bermastautin” lebih dahulu di kota ini? Mungkin ya bagi sebagian warga Pekanbaru. Baik dalam makna positif maupun negatif. Hanya segelintir orang yang menyadari, usaha ini lebih dari sekadar kegiatan nostalgia, kegiatan bermesra-mesra dengan masa lalu, keinginan dan usaha mempertahankan tapak-tapak sejarah lebih kepada mempertahankan penanda dan ciri yang menjadi bedanya suatu kota dengan kota lain. Lebih kepada nilai unik dari suatu kota. Lebih-lebih lagi pada penghargaan untuk para pendahulu dan perintis kota yang menghasilkan karya-karya puncak pada zamannya dan dapat menjadi pelajaran dan perenungan bagi penerus penghuni kota ini.
Perlu dikupas kembali secara bersama oleh segenap pemangku kebijakan (stake holder) di Kota Pekanbaru, apa dan bagaimanakah memaknai sejarah kota terkait masih adanya tapak-tapak sejarah yang menjadi bukti telah panjangnya usia kota ini. Benda tua tanpa nilai tanpa ceritakah sebuah situs? Atau itu merupakan penggalan dari gegap gempitanya pembangunan kota pada masa itu? Apakah nilainya hanya dari sebuah surat keputusan Menteri Pariwisata yang menetapkan sebuah situs merupakan BCB (Benda Cagar Budaya) atau memang diakui secara bersama, secara kolektif oleh berbagai pihak dan warga bahwa sebuah situs memiliki peran (sekecil apapun perannya) dalam memberi gambaran dan cerita perjalanan panjang sebuah kota berkembang dan berpesta pembangunan? Apakah sebuah situs hanya kumpulan berbagai material masa lalu yang tersusun secara rapi pada satu tapak atau merupakan tapak memori kolektif bagi penghuni kota?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar dan sederhana yang harus dijawab secara jujur untuk bersama-sama kita nilai juga secara jujur seberapa rendah atau seberapa tinggikah kesadaran, kepedulian dan kecintaan kita pada kota dan sejarah pembentuk kota ini.
Terasa sepele. Terasa tanpa kepentingan masa depan. Mungkin itu yang ada di benak pembaca menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas dan hasil yang ingin didapat darinya. Tapi perlu disadari, cara pandang dan rasa yang timbul ketika memandang suatu objek akan menjadi penentu utama dari tindakan yang diambil terhadap objek tersebut. Terutama yang kita bahas adalah benda-benda tua yang tidak “hidup” di masa kini.
Sempat terbaca oleh saya di salah satu jejaring sosial di dunia maya, bahwa ada rencana Pemerintah Kota Pekanbaru untuk merenovasi salah satu situs tua di tepi Sungai Siak. Rumah yang dikenal dengan Rumah Singgah, yang berdasar cerita pemilik rumah dan masyarakat setempat, selalu dijadikan tempat singgahnya keluarga Kerajaan Siak termasuk oleh sultan sendiri, ketika berkunjung ke Pekanbaru.
Sebuah bangunan dengan arsitektur rumah panggung, bertiang dan bertangga beton, berdinding kayu dengan pembatas ruangan mengadopsi bentuk tipikal rumah jenki. Atapnya terdiri dari tumpukan beberapa atap dengan atap utamanya adalah atap limas pancung yang memiliki sudut kemiringan atap lebih rendah dari rumah-rumah yang ada di tepi Sungai Siak. Tangga rumah memiliki ornamen semen yang sangat kaya bentuk dan diberi warna-warna cerah. Harus diakui, rumah ini telah mulai rusak termakan usia. Apalagi tak lagi dihuni seperti pertama kali saya berkunjung ke rumah ini di tahun 2002. Rumah kayu umumnya akan cepat lapuk dan hancur dengan sendirinya jika tak terjadi sirkulasi udara yang memadai. Ini hanya dapat terjadi jika jendela-jendela di rumah tersebut terbuka. Tanpa ada penghuni atau pengurus rumah, tentu jendela akan selalu tertutup dan sirkulasi udara sangat kurang.
Rumah ini harus dapat sentuhan perbaikan di sana sini atau akan hancur sendiri beberapa tahun ke depan. Tapi, kegiatan renovasi seperti apa yang akan dilakukan pemerintah? Apa seperti dua rumah di Jalan Perdagangan yang berada di tepi Sungai Siak yang alih-alih menjadi penambah nilai dari bangunan, malah jadi perusak dan pengurang nilai dari bangunan.
Atau seperti perlakuan terhadap sisa halte terminal pertama Kota Pekanbaru yang berada di sebelah rumah ini? Dijadikan halte terbenam demi penataan taman yang tak mencerminkan taman di negeri tropis. Posisi tempat duduk yang tadinya setinggi 40 Cm dari lantai sekarang malah menjadi lantainya. Sedang haltenya sendiri tak mendapat sentuhan apapun dan dibiarkan rusak, menjadi tidak penting di antara benda-benda baru dengan nilai sejarah dan estetika yang rendah (dari sudut pandang perlakuan terhadap lingkungan di sekitar situs bersejarah).
Atau, urungkan sejenak kegiatan renovasi, restorasi, revitalisasi dan bahkan rekonstruksi dikawasan yang penuh dengan tapak sejarah ini. Urungkan walau hanya satu tahun anggaran. Alihkan kegiatan pada penyiapan standar-standar kerja. Bagaimana pekerjaan-pekerjaan untuk material kayu yang telah termakan usia. Apa yang harus dilakukan pertama kali pada material batu dan semen yang telah berusia puluhan tahun sebelum diberi finishing. Finishing apa yang paling cocok untuk material yang kayu, beton, seng yang telah digunakan dan diterpa hujan panas berpuluh puluh tahun.
Tetapkan standar kerja. Apa harus masuk ke laboratorium material dulukah? Atau harus segera dibongkar? Bagaimana dengan material pengganti atau penambal atau penambahnya? Material seperti apa yang boleh digunakan? Bagaimana dengan peraturan-peraturan terhadap benda-benda cagar budaya agar tak menjatuhkan nilainya namun tetap memberi nilai tambah. Tetapkan standar kerja dan lakukan pelatihan pada para tukang yang nanti akan melakukan pekerjaan fisik terhadap situs yang ada. Berikan standar kemampuan mulai dari pengukuran, identifikasi kerusakan material, identifikasi jenis material, sistem penomoran dalam kegitan pembongkaran bahkan sampai sistem penyimpanan dan perbaikan material. Sebuah kerja besar yang tak disadari dan selalu tertutup dengan pekerjaan fisik semata.
Jangan lagi rusak dan hilangkan nilai-nilai sejarah dari sekian banyak peninggalan sejarah Kota Pekanbaru yang tersisa. Cukuplah yang sudah-sudah. Sekarang pertanyaannya adalah, langsung melakukan aksi tanpa persiapan dengan risiko kembali melukai sejarah kota, atau lakukan persiapan yang matang sebelum melakukan aksi jangka panjang?
PUSAKA KOTA PEKANBARU : SALAH KAPRAH, SALAH URUS
Oleh : Dedi Ariandi
* Praktisi arsitek, bermastautin di Pekanbaru
Sumber Tulisan :
Majalah RiauPos | EDISI 00I | 17-24 JANUARI 2013
Pemimpin Redaksi : Purnimasari