Sejarah Penjara Lembaga Pemasyarakatan di Jawa Tengah (Gevangenis)
RiauMagz.com - Jika melanggar hukum, seorang akan dikenai sanksi hingga masa tahanan Penjara selama beberapa waktu. Sebelum mengenal sistem kepenjaaran seperti sekarang ini, sejarah mencatat terjadi banyak perubahan dari metode dan hukuman yang diberikan kepada mereka yang dianggap melanggar hukum, baik itu di Indonesia maupun di Dunia.
Sejarah Penjara dan perkembangannya menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia khususnys di Jawa Tengah akan mengungkapkan bagaimana sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia dari masa ke masa. Melihat sejarah sistem kepenjaraan di Indonesia tidak lepas dari sejarah kepenjaraan di dunia yang belum ada pada abad 15-16, tetapi soal penempatan narapidana sudah menjadi sorotan sejak belum ada namanya penjara sebagai tempat melaksanakan pencabutan kemerdekaan.
Sistem Penjara
Seseorang yang melakukan pelanggaran dahulu akan dimasukan ke rumah khusus yang digunakan sebagai tempat pendidikan bagi mereka yang masuk kategori “tahanan”, sebelum dinyatakan akan menerima hukuman ringan ataupun menanti panggilan pengadilan. Kota Amsterdam, Belanda pada 1595 yang mulai pertama kali mengadakan rumah pendidikan paksa dan membagi tahanan menurut jenis kelamin. Untuk pria dikenal dengan sebutan Rasp House, mereka akan ditugaskan bekerja meraut kayu untuk membuat warna cat. Sedangkan perempuan ditugaskan untuk memintal bulu domba dan menjadikannya pakaian, rumah pendidikan paksa disebut Discipline House.Setelah sekian lama tepatnya 1703, Santo Bapa Clements IX dari Roma mendirikan rumah pendidikan anak. Hukuman bagi anak-anak tersebut ialah mereka diwajibkan bekerja bersama-sama pada siang hari dan malam harinya mereka dilarang berbicaara dan ditempatkan di sel masing-masing.
Berbeda lagi dengan pola penahanan yang ada Kota Genk, Belgia yang mengharuskan para tahanan untuk menerima pendidikan agama dan saat bekerja dilarang untuk bicara satu sama lain. Penjara yang dibuat oleh Burggraaf Vilain XVI atau Walikota Genk dengan nama Masion de Force pada 1718.
Sedangkan di Inggris pada abad 16 juga sudah mengenal dua jenis tahanan, yakni rumah tanahan House of Detention untuk tahanan yang menunggu putusan perkara dan Gaol merupakan rumah tahanan yang diperuntukan bagi pelanggaran hukuman ringan. Namun sistem cara penempatan para tahanan masih menyedihkan kala itu.
Selama itu pula pola dan sistem lembaga pemasyarakatan (LP) diseluruh bagian dunia memiliki cara yang berbeda dalam menangani tahanannya, seperti penjara Wallnutsreet, Philadelphia (1790) tahanan tidak diberi pekerjaan dan untuk memperbaiki kesalahannya diberi bacaan kitab suci, penjara Elmira (1877) khusus anak pemuda yang baru pertama kali masuk penjara memberikan hukuman berupa pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, olahraga, ketertiban, militer dan sebagainya. Sistem penjara Amerika-lah yang mementingkan pendidikan dan pembinaan menjadi salah satu pelopor kepenjaraan yang modern di dunia.
Sistem Penjara Indonesia dibawah Penjajahan Belanda dan Jepang
Di Indonesia sendiri perkembangan kepenjaraan diwarnai aspek sosio cultural, politik serta ekonomi terbagi menjadi dua kurun waktu. Pertama, kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan Indonesia sebelum proklamasi (1872-1945). Berbagai metode dilakukan untuk memberikan efek jera hingga memberikan “penyiksaan” hukuman dengan perlakuan terhadap terpidana.Selama masa ini terjadi empat periode LP, yakni masa periode kerja paksa (1872-1905) ini memiliki dua hukum yang berbeda bagi orang Indonesia dan Eropa. Untuk Indonesia dikenakan pasal KUHP 1872 adalah pidana denda dan pidana mati dengan diperlihatkan kepada masyarakat, sedangkan orang Eropa dikenakan pasal KUHP 1866 adalah pidana penjara dan pidana kurungan pemberian hukuman dilakukan dalam tembok atau tidak terlihat.
Kemudian, periode penjara sentral wilayah (1905-1921) ditandai dengan adanya usaha untuk memusatkan penempatan para pidana kerja paksa kedalam pusat penampungan wilayah. Terpidana akan dikenakan rantai atau tanpa ranta kepada pidana kerja paksa yang lebih dari satu tahun dan dilaksanakan diluar tempat asal terpidana. Barulah 1905 timbul kebijaksaan baru dalam pidana keja paksa dilakukan dalam lingkungan tempat asal.
Periode kepenjaraan Hindia Belanda (1921-1942) ini memberikan usulan klasifikasi tempat penampungan tersendiri bagi tahanan dan memisahkan antara terpidana anak, dewasa maupun wanita dan pria. Hal ini merupakan upaya Hijmans sebagai kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda.
Pada periode ini bisa dikatakan sebagai lembaran sejarah hitam kepenjaraan di Indonesia, atau sama halnya dengan masa penjajahan Belanda. Periode pendudukan balatentara Jepang (1942-1945) memberlakukan eksploitasi terhadap manusia dibandingkan berdasarkan rehabilitasi terpidana seperti yang disebutkan.
Pada kurun waktu 1945-1963 setelah kemerdekaan ada tiga periode. Pertama, pada periode kepenjaraan RI ke I 1945-1950 ditandai dengan adanya penjara darurat berisi terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya. Pendirian penjara darurat dilakukan diwilayah pengungsian dan tempat menahan mereka yang dianggap mata-mata. Masa ini dikenal juga dengan usaha perebutan kekuasaan dengan Jepang, lalu upaya penguasaan kembali Belanda dan upaya eksistensi RI untuk mempertahankannya.
Periode ke II 1950-1960 ditandai dengan adanya langkah-langkah untuk merencanakan reglement penjara yang baru sejak terbentuknya NKRI. Karena falsafah baru dibidang kepenjaraan, yaitu resosialisasi telah lahir. Terakhir, periode ke III 1960-1963 ditandai dengan adanya kebijaksanaan kepemimpinan kepenjaraan yang berorientasi pada pola social defense yang dicanangkan oleh PBB, yaitu integrasi karya terpidana dalam ekonomi nasional, bentuk baru kenakalan remaja dan penanganan jenis-jenis kejahatan yang diakibatkan perubahan sisal dan perkembangan ekonomi.
Titik awal pemisahan LP terhadap tingkat kejahatan, jenis kelamin, umur dimulai sekitar tahun 1921 itu dicetuskan oleh Hijmans dan dikonkritkan lagi oleh Dr. Sahardjo, SH dengan konsep pemasyarakatan. Diterapkan LP Cipinang untuk narapidana pria dewasa, LP bagi anak-anak di Tangerang dan LP Wanita Bulu Semarang. Istilah pemasyarakatan yang digaungkan pertama kali oleh Sahardjo terjadi pada tanggal 5 Juli 1963. Istilah ini dibakukan pada tanggal 27 April 1964 mengganti istilah kepenjaraan dengan maksud untuk reintegrasi sosial kemasyarakatan. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka istilah pemasyarakatan itu sendiri menjadi dasar hukum yang kuat.
Terpidana akan dikenakan hukum berdasarkan sistem pidana, yakni pidana hilang kemerdekaan yang membuat narapidana ditempat disuatu tempat yang terpisah dengan masyarakat (penjara), tahap pembinaan dan tahap pembinaan masyarakat.
Sejarah Penjara di Jawa Tengah, Indonesia
Gevangenis te Pekalongan
Gevangenis te Pekalongan kadang disebut Gevangenisbewaarder te Pekalongan atau Penjara Pekalongan dibangun tahun 1913 dan sempat dihuni oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1921. Tercatat bahwa Giovanni Antonio Filomento sebagai Kepala Lapas Pekalongan dari pemerintah Belanda yang terakhir.Penjara Wanita Bulu
Penjara Wanita Bulu Semarang didirikan tahun 1894 yang menggunakan sistem kepenjaraan. Penjara ini kemudian berganti nama pada 27 April 1964 menjadi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu dengan sistem pemasyarakatan. Kemudian berganti nama lagi menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Semarang. Bangunan penjara ini memiliki status sebagai Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak di Kota Semarang.Penjara Plantungan
Awalnya bangunan penjara ini didirikan pemerintah kolonial Belanda sebagai Rumah Sakit Lepra di tahun 1871. Seratus tahun kemudian, sekitar tahun 1971, Pemerintah Indonesia menjadikan bangunan tersebut sebagai penjara khusus tahanan politik (tapol) perempuan. Awalnya penghuni penjara Plantungan adalah dari tapol perempuan Bukit Duri, yang kemudian juga diisi dari berbagai daerah lainnya di Indonesia. Berlokasi di wilayah yang memiliki sumber air panas dari Gunung Prau tepatnya di Dusun Plantungan, Desa Tirtomulyo, Kecamatan Plantungan, Kabupaten Kendal. Banjir bandang Kali Lampir yang terjadi tahun 1979 menyebabkan semua penghuni dipindahkan ke penjara asalnya. Penjara ini hanya menyisakan 3 tiang bangunan.Sejarah Penjara Nusakambangan
Nusakambangan telah tercatat dalam Babad Tanah Jawi dimana Amangkurat I atau Sri Susuhunan Amangkurat Agung sebagai Sultan Mataram yang memerintah antara tahun 1645 - 1677 memerintahkan Ki Pranataka untuk pergi ke Donan atau Nusakambangan mencari bunga atau kembang Wijayakusuma.Pulau di selatan Jawa ini dahulunya berpenduduk ramai berdasarkan catatan Belanda, kemudian pulau ini kosong di bagian selatannya karena banyak perompak sekitar tahun 1798. Jauh sebelumnya sekitar abad 16, kapal Inggris bernama Royal George singgah di pulau tersebut. VOC di Batavia sebagai saingan Inggris tentu tidak mau kalah cepat dengan mengirim kapal-kapal VOC kesana sekitar tahun 1739. Kapal-kapal tersebut tersesat dan tidak menemukan Pulau Nusakambangan. VOC mengirim tim berikutnya yang dikepalai Paulus Paulusz dan mendarat di pulau tersebut sekitar tahun 1745-1750 berdasarkan catatan JR. Bruijn. Paulus menyarankan pembangunan benteng dan pelabuhan Belanda di pesisir selatan Jawa.
Saran Paulus baru direalisasikan Belanda tahun 1836 dengan membangun benteng pengawasan dan pertahanan karena maraknya perompak atau bajak laut yang berasal dari Bali, Bugis dan Timor berdasarkan catatan Kapten Godfrey Philip Baker, 7th Bengal Light Infantry Volunteer Battalion. Pembangunan benteng selesai di tahun 1869 karena sempat tersendat di tahun 1850 dan 1862 karena serangan wabah malaria.
Bijzonde Straf Gevangenis atau Penjara Kriminal Khusus dibentuk Belanda di Pulau Nusakambangan ini tahun 1908 dan menjadikan pulau ini terkenal dengan nama Poelaoe Boei (Pulau Bui atau Pulau Penjara). Penjara di pulau Nusakambangan juga terkenal sebagai penjara yang paling ditakuti para narapidana.
Awalnya di pulau Nusakambangan memiliki 1 benteng dan 9 komplek penjara, dan sekarang hanya tinggal 4 komplek penjara yang masih beroperasi. Kata "penjara" sudah melekat lama pada pulau yang berada di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ini, padahal tidak ada satu komplek pun yang diberi nama "penjara". Komplek yang masih berfungsi adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Permisan, dibangun tahun 1908 dan merupakan bangunan komplek Lapas pertama yang dibangun jaman itu (selain benteng) serta dioperasikan tahun 1910. Komplek lainnya yang masih beroperasi adalah Lapas Batu dibangun tahun 1925, Lapas Besi dibangun tahun 1929, dan Lapas Kembang Kuning yang dibangun tahun 1950. Komplek lainnya yang tidak difungsikan lagi adalah Lapas Nirbaya (1912), dan Lapas Karang Anyar (1912), Lapas Limus Buntu, Lapas Karang Tengah, dan Lapas Gleger.
Sekarang, Pulau Nusakambangan juga dikembangkan wisata sejarah ke bangunan-bangunan Cagar Budaya Tidak Bergerak dengan ijin masuk khusus.
Sumber :
Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Jawa Tengah
Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Jawa Tengah
Frederick de Haan, Priangan III: De Preanger Regentschappen onder het Netherlands Bestuur, Bataviasch Genootschap van Kunsten Watenschapen, 1912. (OPAC Perpusnas RI)
Peter Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the end of an old order in Jawa 1785-1855, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor taal land en Volkenkunde, KITLV Press, Leiden, 2008
Jaap R. Bruijn, Commanders of Dutch East India Ships in the Eighteenth Century, translated by RL. Robson McKillp and Prof. RW. Unger, The Boydell Press, 2011. Originally published in Dutch as "Schippers van de VOC in de achttiende eeuw aan de wal en op zee", De Vataafsche Leeuw, Amsterdam, 2008.
Godfrey Philip Baker, Memoir of a Survey of the Princes Dominions of Java
https://id.wikipedia.org/wiki/Kamp_Plantungan
https://historia.id/politik/articles/tujuh-tahanan-politik-perempuan-di-kamp-plantungan-PGjL7
RiauMagz, Wisata Riau, Wisata Sejarah, Sejarah Jawa Tengah dan Sejarah Penjara di Jawa Tengah.